Pengaturan mengenai alat bukti sumpah sejatinya telah diatur di dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg. Pengaturan alat bukti sumpah di dalam HIR diatur didalam Pasal 155 sampai Pasal 158 HIR. Sedangkan di dalam KUHPerdata juga diatur mengenai hal demikian di dalam Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1454 KUHPerdata. Sumpah sendiri merupakan alat bukti berupa ikrar yang dinyatakan seseorang terhadap suatu peristiwa yang sebenar-benarnya dipergunakan untuk menguatkan keterangan. Keterangan ini diberikan atas tuhan, yang bertujuan agar orang yang memberikan kesumpahan takut dengan kemurkaan tuhan apabila ia benar-benar berbohong[1]. Para ahli hukum memberikan berbagai definisi mengenai sumpah, yaitu adalah:
- Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pertanyaan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan ketika memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa yang dimiliki tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-nya[2].
- Pitlo berpendapat bahwa sumpah merupakan hal yang menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada tuhan[3].
- Yahya Harahap juga ikut memberikan pengertian mengenai sumpah, ia menjelaskan bahwa sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan ataupun pernyataan yang dikuatkan atas nama tuhan. Hal ini dilakukan dengan tujuan:
- Agar orang tersebut yang bersumpah ketika memberikan keterangan ataupun pernyataan takut akan kemarahan atau kemurkaan tuhan apabila ia memberikan keterangan yang berupa kebohongan.
- Takut akan murka atau hukuman yang diberikan oleh tuhan dapat dijadikan suatu daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan hal yang sebenarnya[4].
Didalam hukum acara perdata dikenal tiga macam alat bukti sumpah, ketiga macam bentuk sumpah tersebut terdiri dari[5]:
- Sumpah yang dilakukan oleh salah satu pihak yang memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepada dirinya, sumpah ini dikenal dengan nama sumpah pemutus (sumpah decissoir );
- Sumpah yang dilakukan oleh hakim karena jabatan yang dimilikinya, sumpaj ini diperintahkan kepada salah satu pihak yang bersengketa di pengadilan, yakni:
- Sumpah penambah ataupun sumpah pelengkap (sumpah suppletoir ) dan
- Sumpah penaksir (sumpah estimaatoir ).
1. Sumpah Pemutus (sumpah decissoir )
Sumpah ini merupakan suatu sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak yang berperkara, atas permintaan dari pihak lawannya[6]. Sumpah jenis ini memiliki daya kekuatan untuk menjatuhkan perkara yang dengan sendirinya mengakhiri suatu proses pemeriksaan. Putusan pun dijatuhkan berdasarkan isi dari ikrar sumpah, kecuali undang-undang meletakkan sumpah yang menentukan nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan serta memiliki daya kekuatan pembuktian wajib, tanpa memperbolehkan untuk diajukan terhadap alat bukti lawan. Sumpah pemutus dapat dikatakan sebagai upaya terakhir atau merupakan suatau senjata pamungkas untuk menyelesaikan suatu perkara. Apabila salah sau pihak memerintahkan sumpah pemtus kepada pihak lawannya berarti pihak tersebut sebagai pihak yang bersedia untuk melepaskan hak yang ada padanya, seolah-olah orang itu menyatakan kepada pihak lawannya sebagai berikut: “baiklah apabila kamu berani bersumpah saya rela untuk dikalahkan”.
Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak yang memberikan perintah, apabila sumpah tersebut dikembalikan dan pihak yang pada awalnya memberi perintah tidak berani untuk melakukan sumpah. Maka pihak tersebut akan dikalahkan. Dalam kejadian seperti ini maka seperti kejadian senjata makan tuan[7]. Pihak yang memerintahkan sumpah dinamakan dengan deferent, sedangkan pihak yang bersumpah dinamakan dengan delaat atau gedefereerde . Sumpah pemutus memiliki sifat dan daya litis decisoir, yang berarti[8]:
- Dengan sendirinya mengakhiri proses perkara;
- Diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang telah diucapkan;
- Dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan.
Sejatinya terdapat beberapa syarat formil yang harus dipenuhi dalam sumpah pemutus, syarat-syarat ini antara lain:
- Tidak ada alat bukti lainnya. Artinya, alat bukti sumpah dapat diajukan apabila tidak ada alat bukti yang lain, dan penyelesaian sengketa hanya digantungkan diatas sumpah, serta tidak boleh melanggar persyaratan-persyaratan yang telah di sebutkan. Sumpah pemutus merupakan suatu alat bukti untuk memperkuat dalail gugatan ataupun bantahan, jika sama sekali tidak ada upaya lain untuk membuktikannya dengan alat bukti lain. Apabila ada alat bukti lain maka tidak ada suatu dasar alasan untuk memerintahkannya[9].
- Inisiatf sumpah ada padi pihak yang memerintahkan yakni penggugat atau tergugat, tidak pada hakim.
Ruang lingkup dapat dipakainya sumpah pemutus telah diatur di dalam kitab undang-undang hukum Perdata kita, yaitu[10]:
- Meliputi segala sengketa;
- Dapat diperintahkan dalam segala jenis sengketa.
2. Sumpah Tambahan (sumpah suppletoir )
Mengenai sumpah ini sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 1940 KUHPerdata, yang didalam dinyatakan bahwa:
“Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan”
Seperti yang telah dijelaskan diatas, sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim berdasarkan jabatanya[11]. Sumpah ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang berperkara.
Sumpah tambahan memiliki syarat-syarat formil, Yahya menjelaskan bahwa syarat-syarat ini adalah sebagai berikut[12]:
- Alat bukti yang telah diajukan tidaklah mencukupi, syarat ini merupakan syarat yang utama. Harus ada terlebih dahulu suatu permulaan pembuktian sebagai landasan menerapkan sumpah tambahan. Dengan demikian, sumpah tambahan tidak dapat beridiri sendiri layaknya sumpah pemutus. Sumpah ini baru dapat diajukan apabila ada permulaan pembuktian[13].
- Atas perintah hakim, artinya sumpah tambahan haruslah datang dari perintah hakim. Jadi hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan karena jabatannya, dan hakim pula yang berwenang untuk menilai serta mempertimbangkan apakah perlu diadakan suatu sumpah tambahan[14].
Dikarenakan sumpah tambahan hanya bisa diajukan apabila pihak tersebut memiliki bukti permulaan, maka sumpah tambahan hanya bisa dibebankan kepada pihak yang mempunyai bukti permulaan. Dengan ini, hakim tidak boleh membebankan suatu sumpah tambahan kepada pihak yang tidak memiliki bukti permulaan Pelanggaran atas syarat ini mengakibatkan sumpah tambahan yang diajukan batal demi hukum, dikarenakan tidak memenuhi syarat formil[15].
3. Sumpah Penaksir (sumpah estimaatoir )
Mengenai sumpah ini sebenarnya diatur didalam kalimat terakhir dari Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penaksir merupakan salah satu sumpah yang dilakukan khusus untuk untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Apabila di dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntutnya, dan apabila atergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi barang itu dapat ditentukan melalui sumpah penaksir[16].
Tujuan dari sumpah ini sebenarnya untuk menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Jadi sumpah ini dapat dilakukan apabila dari kedua belah pihak tidak bisa mengajukan alat bukti lain yang dapat membuktikan berapa jumlah sebenarnya. Apabila ada alat bukti lain maka sumpah penaksir tidaklah dapat diterapkan[17]. Sumpah penaksir hanyalah dapat dibebankan kepada si penggugat bila sang penggugat telah membuktikan haknya atas pembayaran kerugian. Jadi sumpah ini diajukan ketika hakim berpendapat bahwa alat bukti yang telah ada tidak dapat menerangkan seberapa besar kerugian tersebut[18].
Syarat formil dari sumpah penaksir agar sumpah ini dapat diterapkan di pengadilan adalah:
- Apabila penggugat mampu membuktikan haknya atas dalil pokok gugatan yang diajukan olehnya;
- Karena sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang menimbulkan adanya tuntutan atas sejumlah gani rugi atau sejumlah harga barang, maka selama belum dapat dibuktikannya hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga barang.
Referensi
[1] H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm 178.
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm 155.
[3] Mr. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa (terjemahan), PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hlm 95.
[4] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm 745.
[5] Sofian Parerungan, Muskahir, Mustafa Bola, Penerapan Alat Bukti Sumpah Pemutus (Decisoir EED) Dalam Pembuktian Perkara Perdata Di Pengadilan, dikutip dari Jurnal Analisi, Vol. 3 No. 2, Desember 2014, hlm 116. ISSN 2252-7230.
[6] Pasal 156 HIR dan Pasal 1930 KUHPerdata mengenai sumpah.
[7] R. Subekti, Hukum Pembuktian , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm 19.
[8] Yahya Harahap, Op. cit, hlm 750.
[9] Pasal 1930 ayat (2) KUHPerdata.
[10] Pasal 1920 KUHPerdata.
[11] Sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 316.K/Sip/1974, tanggal 25 Maret 1976 tentang sumpah suppletoir.
[12] Yahya Harahap, Op. cit, hlm 767.
[13] Pasal 1941 KUHPerdata.
[14] Pasal 1929 jo. Pasal 1940 KUHPerdata.
[15] R. Subekti, Op. cit, hlm 124.
[16] Yahya Harahap, Op. cit , hlm 775.
[17] Ibid, hlm 776.
[18] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm 126.