Alami Mental Illness Saat Pandemi Covid-19, Bagaimana Solusinya?

13181383-1115150648544580-524431809-n-d5fcdac8fab30f2f1483903353d24818 (1)

Pengaruh wabah covid-19 di Indonesia telah menimbulkan berbagai perubahan yang cukup signifikan didalam kehidupan sehari-hari, seperti perubahan dalam sistem belajar-mengajar, bekerja, dan beribadah yang semuanya diubah menjadi dari rumah. Seperti tertuang dalam ungahan Instagram @najwashihab tentang pesan Menteri Nadiem Makarim untuk tetap #dirumahaja:

Mari selamatkan nyawa masyarakat Indonesia dengan bekerja, belajar dan beribadah #dirumahaja.

Kebijakan tersebut tidak semata-mata diberlakukan, melainkan dengan berbagai pertimbangan yang harapannya dapat memutus rantai penyebaran covid-19 di Indonesia. Salahsatu dampak dari kebijakan tersebut adalah timbulnya jarak fisik dan mental antara individu yang satu dengan yang lain. Seperti dalam kehidupan kampus, mahasiswa yang terbiasa bertegur sapa setiap hari, kini hanya bisa berkomunikasi lewat media sosial saja. Selain itu, pembelajaran dari rumah (Learn From Home/LFH) dengan batas waktu yang belum bisa ditentukan kian menumbuhkan rasa rindu terhadap kehidupan kampus seperti sediakala.

Selain kebijakan mengerjakan segalanya dari rumah, berdasarkan informasi dari laman Nasional Kompas yang berisi:

Presiden Joko Widodo akhirnya melarang seluruh warga mudik ke kampung halaman.

Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta daerah zona merah Covid-19 lainnya. Larangan tersebut berlaku mulai 24 April. Adapun sanksi akan diberlakukan pada 7 Mei bagi mereka yang bersikeras untuk mudik. Hal ini semakin menumbuhsuburkan rasa rindu terhadap orang tersayang dikampung halaman, dan juga memberikan jarak mental yang kian meluas dengan tetap harus bersabar untuk menabung rindu lagi.

Sebenarnya, himbauan pemerintah agar masyarakat tidak mudik merupakan langkah yang cukup tepat untuk menanggapi kekhawatiran terjadinya penyebaran virus covid-19 yang kian masif. Perlu dipahami bersama bahwa ada Orang Tanpa Gejala (OTG) yang sebenarnya ia telah terindikasi covid-19 tetapi ia tidak sadar bahwa dirinya telah terinfeksi, hal inilah yang sangat berbahaya. Karena, ketika ia melakukan kontak dekat dengan oranglain dan mengeluarkan droplet melalui batuk/bersin tanpa menerapkan etika batuk, dapat dipastikan dia sedang berperan aktif dalam penyebaran covid-19 dilingkungannya.

Oleh karena itu, dianggap perlu untuk menjaga jarak fisik untuk memproteksi diri dari ancaman covid-19. Langkah yang dianjurkan yaitu dengan tetap dirumah saja, melakukan segalanya dari rumah, dan menerapkan physical distancing walaupun hal tersebut dapat memberikan ketidakstabilan mental akibat menahan rindu untuk tidak bertemu orang-orang tersayang dalam waktu yang cukup lama.

Menurut Puspitasari (2017),

Manusia dikatakan makhluk sosial yaitu makhluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.

Manusia dikatakan makhluk sosial juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah dengan adanya interaksi sosial dalam hubungannya dengan manusia lain. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dalam pikiran dan tindakannya. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain.

Pembatasan interaksi yang terjadi sekarang ini seperti tidak bertemu/melakukan kontak dalam waktu yang cukup lama, hanya melakukan komunikasi sewajarnya lewat media, dan kurangnya perhatian antarsesama sedikit banyak akan menimbulkan permasalahan terhadap kesehatan mental seseorang. Layaknya penyakit yang membutuhkan obat, segala keluhan terhadap gangguan mental sebagai efeksamping dari kebijakan pencegahan covid-19 ini juga perlu ditangani secara serius. Langkah kuratif yang menurut saya sangat ampuh untuk mengembalikan kesehatan mental seseorang adalah dengan kembali melakukan interaksi sosial dengan orang tersayang. Bertemu, bertegur sapa dan saling melepas rindu merupakan satu-satunya obat yang paling ampuh untuk membayar lunas segala permasalahan yang menyesakkan dada. Karena sejatinya, video call melalui aplikasi komunikasipun hanya dapat meredakan rindu, bukan mengobati rindu.

Lantas, kapan kita dapat kembali melakukan interaksi sosial untuk mengobati mental illness yang dialami? Jawabannya mudah, semua tergantung terhadap komitmen seluruh lapisan masyarakat untuk bersabar, disiplin dan taat terhadap segala kebijakan yang ada. Perlu disadari, hal ini merupakan tanggungjawab bersama yang bukan hanya urusan pemerintah, tenaga kesehatan, atau aparat saja. Namun, seluruh masyarakat mempunyai peranan penting untuk memutus rantai penyebaran covid-19. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk taat, semakin cepat pula kita dapat kembali melakukan interaksi sosial dengan orang-orang tersayang.

Keadaan tanggap darurat covid-19 di Indonesia sedikit banyak membawa perubahan terhadap sistem kehidupan sehari-hari. Interaksi sosial yang biasanya dilakukan tanpa memandang waktu dan tempat kini terbatas pada media yang bisa dimanfaatkan. Berkomunikasi jarak dekat dianggap beresiko meningkatkan penyebaran virus, bersalaman dan cium tangan kini menjadi larangan karena khawatir terhadap penularan. Setiap individu dituntut untuk mengerjakan segalanya dari rumah, belajar, bekerja dan beribadah, semuanya dari rumah. Perubahan yang cepat dalam batas waktu yang tidak dapat diprediksi dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, segala pembatasan dalam melakukan interaksi sosial harus segera dihentikan. Masyarakat harus sadar untuk taat dan berperan serta membantu pemerintah dalam memutus penyebaran covid-19 ini dengan #dirumahaja. Semakin disiplin masyarakat, semakin cepat kita dapat kembali menikmati hangatnya melakukan interaksi jarak dekat. Mari, bersama kita jaga jarak sejenak agar dapat kembali berpeluk erat dengan sahabat!

DAFTAR PUSTAKA

1 Like