Al-Qur'an: Sutera Yang Memiliki Dua Sisi

Taman Surga

Setiap orang yang hendak bepergian ke suatu tempat, akalnya akan berpikir:

“Setelah aku sampai di sana, aku akan mudah mendapatkan segala kemaslahatan dan pekerjaan, keadaanku akan teratur, teman-temanku akan senang dan aku akan mampu mengalahkan musuh-musuhku.”

Pikiran semacam inilah yang menyita perhatiannya, meski tujuan sejatinya adalah sesuatu yang lain. Sudah banyak pikiran dan upaya yang dia kerahkan, tapi tidak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan keinginannya. Meski demikian, ia tetap berpegang teguh pada upaya dan pilihannya itu.

Seorang hamba yang berusaha, namun mengabaikan takdir, Maka usahanya akan sia-sia, dan yang tersisa hanyalah takdir Tuhan.

Ini seperti seseorang yang bermimpi tinggal di sebuah kota yang asing. Tak ada yang mengenal dan dia kenali di kota tersebut. Kebingungan menimpa dirinya dan ia pun menyesal. Hambatan dan kerugian menimpanya, dan dia berkata: “Mengapa aku datang ke kota yang tidak aku kenal ini tanpa kehadiran sang kekasih di sini?” Namun ia sadar bahwa segala penyesalan dan kerugian itu tidak ada gunanya. Ia menyesali keadaan yang menimpa dirinya dan melihatnya sebagai kesia-siaan. Pada waktu yang lain, ketika ia tertidur, ia melihat dirinya telah berpindah ke kota itu dan mulai diterpa kegelisahan, hambatan dan berbagai kerugian. Ia menyesali kedatangannya ke kota itu. Ia tidak mampu berpikir dan mengingat-ingat: “Sungguh dalam keadaan sadar aku telah menyesali kesedihan ini dan aku mendapati bahwa perbuatanku ini hanyalah kesia-siaan dan sebatas bunga tidur yang tidak bermanfaat apa-apa.”

Seperti inilah keadaan seluruh manusia. Ratusan ribu kali mereka melihat niat dan usahanya gagal dan tak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan keinginannya. Namun Allah mengendalikan kealpaan mereka sehingga mereka melupakan semua yang sudah terjadi, dan mereka tetap saja mengikuti jalan pikiran dan kehendak mereka sendiri.

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. al-Anfal: 24)

Konon, ketika Ibrahim bin Adham menjadi raja, dia pergi berburu. Ia mengejar seekor kijang hingga terpisah jauh dari bala tentaranya. Karena letih, kudanya sampai berkeringat, namun dia masih terus mengejar. Pada saat ia melewati batas di gurun itu, tiba- tiba kijang buruannya menoleh ke arahnya dan berkata:

“Aku tidak diciptakan untuk hal ini. Wujud ini tidak dibentuk dari ketiadaan agar kamu memburuku. Sekalipun kamu bisa menangkapku, apa yang akan kamu peroleh?”

Mendengar ucapan ini, Ibrahim menjerit, dan seketika itu ia terpelanting dari punggung kudanya. Tak ada seorang pun di padang itu selain seorang penggembala. Ibrahim menunduk di hadapannya seraya berkata:

“Ambillah pakaian kerajaanku yang berhiaskan intan permata ini, ambillah senjataku, kudaku dan berikanlah pakaian kasarmu itu. Jangan ceritakan kepada siapapun tentang apa yang telah menimpaku ini.”

Ibrahim kemudian memakai pakaian kasar itu dan pergi melanjutkan perjalanannya.

Sekarang, lihatlah apa keinginan dan tujuan hakikinya. Ia hendak menangkap kijang, tapi justru Allah yang menangkap dirinya lewat kijang itu. Sadarilah bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini bisa terjadi atas kehendak Allah. Keinginan-Nyalah yang berlaku dan semua tujuan akan mengikuti-Nya.

Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab memasuki rumah saudarinya yang sedang membaca al-Qur’an dengan suara nyaring:

“Thaha, Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah [QS. ftaha: 1-2].

Ketika melihat saudaranya masuk, ia menyembunyikan al-Qur’an dan memelankan suara. Umar menghunus pedangnya dan berkata:

“Katakan padaku apa yang sedang kamu baca dan mengapa kamu menyembunyikannya dariku, kalau tidak akan memenggal kepalamu tanpa belas kasihan saat ini juga.”

Saudarinya yang mengenal tabiat Umar jika sedang marah itu takut bukan kepalang. Dalam kondisi ketakutan ia pun mengaku:

“Aku membaca kalam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad Saw.”

Umar berkata:

“Baca lagi agar aku bisa mendengarnya.”

Ia pun membaca surat Thaha . Mendengar al-Qur’an dibacakan, Umar semakin marah dan berkata:

“Jika aku membunuhmu sekarang, maka aku hanya akan membunuh orang yang lemah. Aku akan pergi dan memenggal kepala Muhammad terlebih dahulu, baru kemudian aku akan mendatangimu lagi.”

Dalam balutan amarah yang membara, Umar kemudian bergegas menuju masjid Nabawi dengan pedang terhunus. Di tengah perjalanan, para pemuka Quraisy melihatnya dan berkata:

“Hai, Umar hendak menemui Muhammad. Jika ada yang bisa menghentikan agama Muhammad, pasti Umarlah orangnya.”

Hal itu dikarenakan Umar adalah sosok yang kuat dan perkasa. Pasukan mana pun yang pernah menghadapinya selalu dia kalahkan dan kemenangannya itu dibuktikan dengan memenggal kepala lawan-lawannya. Karena itulah Rasulullah sering berdoa: “Ya Allah, tolonglah Islam lewat salah satu dari dua Umar (Umar bin al- Khatthab dan Amr bin Hisyam atau Abu Jahal). Pada masa itu, kedua orang ini memang terkenal dengan kekuatan dan keperkasaannya.

Ketika Umar sudah masuk Islam, ia sering menangis dan berkata:

“Ya Rasulullah, celaka aku jika seandainya engkau mendahulukan Abu Jahal dengan berdoa: ‘Ya Allah, tolonglah Islam lewat Abu Jahal atau Umar,” lantas akan menjadi apa diriku ini, aku akan tetap berada dalam kesesatan.”

Singkat cerita, Umar menghampiri masjid Nabawi dengan pedang terhunus. Namun pada saat itu, Jibril turun mengabarkan pada Rasulullah Saw.:

“Ya Rasulullah, Umar akan datang untuk masuk Islam, peluklah dia.”

Pada saat Umar masuk dari pintu masjid, tiba-tiba ia melihat dengan jelas sebuah panah cahaya yang melesat dari sisi Rasulullah Saw. dan menancap ke dalam hatinya. Umar pun menjerit dan jatuh pingsan. Setelah kejadian itu, cinta dan kerinduan memenuhi relung jiwa Umar. Dia berharap bisa melebur dalam diri Rasulullah karena dalamnya rasa cinta Umar pada beliau sampai tak tersisa apa-apa lagi dari dirinya. Umar berkata:

“Wahai Nabi Allah, sekarang tunjukkan padaku keimanan itu dan katakanlah kalimat yang penuh berkah itu agar aku bisa mendengarnya.”

Setelah masuk Islam, Umar berkata:

“Sekarang, sebagai ganti dari kedatanganku ke sini dengan pedang terhunus dengan maksud hendak membunuhmu, setiap orang yang kudengar menentangmu setelah ini, tak akan kuberi rasa aman. Dengan pedang ini, akan aku penggal kepalanya.”

Ketika Umar keluar dari masjid, tanpa diduga Umar bertemu dengan ayahnya. Ayahnya bertanya: “Apa kamu sudah mengalirkan (darahnya)?” Pada saat itu juga Umar memenggal kepala ayahnya dan terus berjalan dengan menggengam pedangnya yang berlumuran darah. Ketika para pemuka Quraisy melihat pedang yang berlumuran darah itu, mereka bertanya:

“Kamu sudah berjanji akan membawa kepala Muhammad, mana kepalanya?”

Umar menjawab:

“Ini kepalanya.”

Mereka bertanya lagi:

“Kau membawa kepala Muhammad?”

Umar menjawab:

“Bukan. Ini bukan kepalanya, tapi kepala orang lain.”

Sekarang lihatlah apa yang sudah direncanakan oleh Umar dan apa yang dikehendaki oleh Allah dari rencananya itu, agar kamu mengetahui bahwa semua rencana akan berjalan sesuai dengan keinginan-Nya.

Umar bermaksud untuk mendatangi Rasulullah dengan hunusan pedang di tangannya.

Namun dia tersungkur dalam jaring Allah, dan karena nasibnya yang mujur itu, ia mendapat pandangan yang benar.

Maulana Jalaluddin Rumi

Sekarang, jika mereka bertanya pada kalian: “Kau datang dengan membawa apa?” Jawablah: “Aku datang dengan membawa kepala.” Jika mereka berkata “Kami sudah melihat kepala ini?,” maka katakanlah: “Bukan, ini bukan kepala yang kamu lihat, ini kepala yang lain.” Kepala adalah tempatnya rahasia. Jika tidak demikian, maka seribu kepala pun tidak akan terbeli oleh satu keping dirham. Bacalah ayat berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.” (QS. al-Baqarah: 125)

Ibrahim berkata:

“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memuliakan diriku dengan jubah kerelaan-Mu dan telah memilihku, karuniakan pula kekeramatan ini pada keturunanku.”

Allah kemudian menjawab dalam firman-Nya:

“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah: 124)

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa orang-orang zalim itu bukanlah orang yang pantas menyandang jubah dan karamah Allah. Ketika Ibrahim menyadari bahwa Allah tidak peduli dengan orang-orang zalim dan tiran, ia membatasi keinginannya seraya berucap:

“Ya Allah, mereka orang-orang beriman dan tidak berbuat zalim, limpahkanlah rezeki-Mu dan jangan Engkau cegah mereka darinya.”

Allah menjawab:

“Sesungguhnya rezeki-Ku berlaku umum, siapa saja memiliki bagian darinya. Setiap makhluk mempunyai bagian dari rumah perjamuan ini. Sedangkan jubah kerelaan, penerimaan, pemuliaan dan keagungan-Ku hanya menjadi bagian orang-orang khusus dan terpilih.”

Kaum literalis berkata: “Yang dimaksud dengan rumah ini adalah Ka’bah, di mana setiap orang yang berlindung di dalamnya akan memperoleh rasa aman dari berbagai rintangan. Di dalamnya diharamkan berburu dan menyakiti sesama manusia. Allah telah memilih Ka’bah sebagai rumah bagi-Nya.” Perkataan ini benar dan baik, tapi itu hanyalah pemahaman dari sisi lahiriah al-Qur’an saja. Sedangkan menurut pandangan para ahli tahkik, yang dimaksud dengan rumah di sini adalah batin manusia. Jadi, maksudnya adalah:

“Ya Allah, kosongkanlah batinku dari keraguan dan kesibukan hawa nafsu. Sucikanlah ia dari berbagai syahwat dan pikiran kotor agar tidak ada jalan bagi setan dan keraguan, sehingga tak tersisa lagi ketakutan di dalamnya dan seluruhnya menjadi tempat bagi wahyu- Mu.”

Allah telah memerintahkan bintang untuk naik ke langit dan menghalangi setan-setan mendengarkan rahasia-rahasia malaikat; agar tak seorang pun yang mengetahui rahasia-rahasia-Nya dan aman dari berbagai macam bahaya. Dengan kata lain: “Ya Allah, perintahkanlah para penjaga perhatian-Mu untuk mengawasi batinku juga, agar gangguan setan-setan dan tipu daya hawa nafsu bisa menjauh dariku.” Ini adalah ucapan ahli batin dan para pemilik mata hati.

Setiap orang bergerak dari tempat mereka sendiri. Al-Qur’an itu laksana sutera yang memiliki dua sisi; sebagian mengambil intisari dari sisi ini, dan sebagian lagi dari sisi yang lain. Keduanya sama-sama benar, sebab Allah SWT menghendaki agar setiap orang bisa mengambil manfaat dari al-Qur’an. Seperti seorang istri yang memiliki suami dan bayi, baik suami maupun sang bayi memiliki bagiannya masing-masing. Si bayi akan menemukan kenikmatan dari puting susu dan air susu ibunya, sementara suami akan mendapatkan kenikmatan ketika ia bercumbu rayu dengan istrinya. Sebagian manusia adalah anak-anak di jalan ini, mereka menemukan kenikmatan di wilayah makna tekstual al-Qur’an, mereka meminum air susunya. Namun bagi orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan, mereka akan merasakan kenikmatan dan pemahaman lain dari makna-makna al-Qur’an.

Maqam Ibrahim dan tempat shalatnya adalah tempat di dekat Ka’bah. Kaum literalis berkata bahwa setiap Muslim wajib mendirikan salat dua rakaat di sana. Demi Allah ini adalah pekerjaan yang bagus. Sementara bagi para ahli tahkik, maqam Ibrahim bermakna bahwa hendaknya kamu lempar dirimu ke dalam api sebagaimana yang dilakukan Ibrahim demi kebenaran. Hendaknya jiwamu mendatangi maqam ini dengan sungguh-sungguh dan berusaha di jalan Allah atau yang dekat dengan maqam ini sehingga saat itu manusia telah mengorbankan jiwanya demi kebenaran. Maksudnya tak tersisa lagi bahaya bagi jiwa dan tak akan bergoncang lagi karena hawa nafsu. Salat dua rakaat di maqam Ibrahim itu bagus, tapi biarkan salat itu ditegakkan di dunia ini, sementara rukuknya di dunia sana.

Ka’bah yang sejati adalah hati para Nabi dan wali yang menjadi tempat turunnya wahyu Allah. Adapun Ka’bah yang kita kenal hanyalah cabang darinya. Jika yang sejati bukan di hati, lantas apa gunanya Ka’bah? Para Nabi dan wali mengorbankan segala kehendak mereka dan mengikuti kehendak Allah. Semua yang diperintahkan-Nya akan dilaksanakan oleh mereka. Setiap orang tidak akan mengalihkan perhatian mereka, bahkan kepada ayah dan ibu mereka sekalipun. Mereka juga tidak akan menyisakan takaran bagi keduanya. Sebab dalam pandangan mereka, (terkadang) orang tua tampak sebagai musuh.

Kuletakkan tali kendali hatiku di tangan-Mu, Apa pun yang Kau katakan untuk dimasak, kami nyatakan untuk dibakar.

Semua yang aku katakan adalah perbandingan ( mitsal ), bukan persamaan ( matsal ). Kedua istilah ini berbeda. Allah menggunakan istilah mitsal ketika menyerupakan Cahaya-Nya dengan lampu. Para wali yang diserupakan dengan kaca lampu itu juga menggunakan istilah mitsal . Cahaya Allah tidak dapat ditampung oleh semesta dan tempat. Bagaimana mungkin keadaan bisa ditampung oleh sebuah kaca dan lampu? Bagaimana mungkin hati bisa menampung tempat-tempat terbitnya Cahaya Allah? Tetapi ketika kamu mencari Cahaya Allah itu, kamu akan mendapatkannya di dalam hati. Bukan seperti sebuah kotak di mana Cahaya itu bersemayam, melainkan kamu akan mendapati Cahaya itu bersinar dari hatimu. Seperti halnya ketika kamu menemukan gambaran ragamu di dalam cermin. Ragamu tidak berada di dalam cermin itu, tapi kamu akan melihat dirimu sendiri ketika kamu melihat ke dalam cermin.

Ketika diungkapkan dengan perbandingan, segala sesuatu yang awalnya tidak bisa dicerna akal akan menjadi logis dan kemudian akan bisa dilihat. Seperti ucapanmu: “Ketika manusia memejamkan matanya, ia akan melihat berbagai macam hal yang mengagumkan, ia akan menyaksikan berbagai materi dan bentuk yang tampak. Akan tetapi ketika ia membuka kedua matanya, tak ada satu pun yang terlihat.” Tak ada seorang pun yang akan membenarkan dan menganggapnya logis, namun saat kamu kemukakan satu perbandingan, ia akan segera bisa dipahami. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini seperti seseorang yang melihat ratusan ribu orang dalam tidurnya, tapi tak ada satu pun yang ia lihat di dunia nyata. Atau seperti seorang arsitek yang mengkhayalkan sketsa rumah yang lebar, panjang dan gaya yang sempurna. Siapa pun akan menganggap hal itu tidak logis, namun saat ia melukis desain rumah tersebut di atas kertas, gambar rumah pun menjadi nampak. Ketika ia memberikan gambaran yang telah dirancang, wujud rumah dengan berbagai perinciannya itu akan menjadi logis bagi siapa pun yang melihatnya. Setelah ia menjadi logis, sang arsitek mulai membangun rumah sesuai dengan rancangan yang dibuatnya. Akhirnya, tampaklah bangunan sebuah rumah.

Dari sini kita bisa tahu bahwa sebenarnya segala sesuatu yang tidak logis akan bisa dicerna dan dipahami dengan menggunakan perbandingan. Ini seperti yang dikatakan bahwa kitab-kitab beterbangan di dunia sana, sebagian ke kanan dan sebagian lagi ke kiri. Di sana juga terdapat malaikat, arasy, neraka, surga, mizan, hisab dan kitab; yang mana semuanya tidak akan bisa kita cerna kecuali dengan perbandingan. Meskipun semuanya tidak ada di dunia ini, tapi ia akan tampak nyata dengan perbandingan. Contohnya adalah ketika semua makhluk tertidur di malam hari, entah itu seorang pandai besi, raja, hakim, pejahit, dan lain sebagainya. Ketika tidur, pikiran-pikiran mereka terbang dan tak ada satu pun yang masih melekat pada mereka. Hingga saat fajar tiba, terompet Israfil seperti membawa kehidupan mereka kembali lagi ke dalam sel-sel tubuh mereka. Pikiran-pikiran kembali menghampiri mereka bagaikan kitab yang beterbangan di hari pembalasan tanpa kesalahan apa pun. Pikiran penjahit akan kembali kepada dirinya, pikiran hakim akan kembali kepada dirinya, pikiran pandai besi akan kembali kepada dirinya, pikiran orang zalim akan kembali kepada dirinya, dan pikiran orang yang adil juga akan kembali kepada dirinya. Adakah orang yang tidur sebagai penjahit kemudian ia bangun di siang hari sebagai tukang sepatu? Tidak mungkin, sebab menjahit adalah pekerjaan dan kesibukan yang sudah dijalani sebelumnya, jadi dia akan kembali sibuk dengan pekerjaan itu di keadaan yang kedua. Dari sini kita mengerti bahwa di dunia sana, hal yang semacam ini terjadi dan bukan sebuah kemustahilan, dan itu juga sering terjadi di dunia sini.

Jadi ketika manusia menggunakan perbandingan ini sampai ke ujung rangkaian ini, di dunia sekarang dia akan menyaksikan segala keadaan yang ada di dunia sana. Semua akan tersingkap olehnya sehingga ia akan mengerti bahwa segala sesuatu ada dalam genggaman Allah. Ada banyak tulang belulang yang mungkin pernah kamu lihat membusuk di dalam kubur, sejatinya ia menikmati manisnya kebahagaan dan tertidur di sana seperti orang mabuk. Mereka menangkap kenikmatan dan kelenaan itu dengan sempurna. Ini bukan bualan, dan karena itulah manusia sering berdoa: “Semoga Allah mengharumkan tanah pusaranya.” Jika debu tidak tahu soal wewangian, bagaimana mungkin mereka akan berdoa seperti itu?

Semoga Allah melanggengkan usia berhala bak rembulan itu sampai seratus tahun lagi,

Dan kujadikan hatiku sebagai tempat bagi anak panah air matanya.

Di atas pintu pusaranya, hatiku mati dalam keadaan bahagia dan penuh suka cita,

Sambil aku berdoa: “Ya Tuhan, harumkanlah pusaranya.”

Hal semacam ini terjadi di alam indrawi. Seperti sepasang suami istri yang tidur di atas satu ranjang. Sang istri melihat dirinya berada di tengah-tengah penjamuan makan di sebuah taman mawar yang dipenuhi para biduan, sementara sang suami melihat dirinya berada di antara lilitan ular-ular, para penjaga Jahannam, dan kalajengking. Jika kamu amati keduanya, kamu tidak akan melihat semua itu. Lantas kenapa harus terkejut jika sebagian manusia—bahkan di dalam kuburnya—bersukacita, merasakan kenyamanan, dan kemabukan, sementara sebagian yang lainnya sengsara, menderita, dan tersiksa? Dari sini bisa diketahui bahwa sesuatu yang tidak logis bisa dicerna dengan menggunakan perbandingan.

Sekali lagi, mitsal tidak identik dengan matsal . Seorang bijak meminjam istilah ‘musim semi’ untuk menggambarkan keadaan yang menunjukkan kondisi kenyamanan, kebahagiaan dan kelapangan, dan menyebut ‘musim gugur’ untuk menggambarkan cengkraman dan kegelisahan. Lantas apa persamaan antara kesenangan dengan musim semi dan kegelisahan dengan musim gugur, apakah dari sisi bentuknya? Tanpa perbandingan ini, akal tidak akan mampu menangkap gambaran maknanya. Allah berfirman:

“Dan tidaklah sama antara orang buta dengan orang yang melihat. Tidak pula sama antara gelap gulita dengan cahaya. Tidak pula sama antara yang teduh dengan yang panas.” (QS. Fathir: 19-21)

Allah membandingkan keimanan dengan cahaya dan kekafiran dengan kegelapan, atau membandingkan keimanan dengan naungan keteduhan dan kekafiran dengan matahari yang membara, yang tidak mengandung rahmat sedikit pun di dalamnya dan hanya membuat otak mendidih. Lantas apa persamaan antara sinar keimanan dengan kelembutannya, antara cahaya alam kita atau antara kotoran kekufuran yang gelap dengan kegelapan alam ini?

Jika ada seseorang yang tertidur di tengah-tengah sebuah perbincangan, maka tidur itu bukan disebabkan karena keterlenaannya, melainkan karena ia merasa aman. Bandingkan dengan yang terjadi pada sebuah kafilah yang menyusuri jalanan terjal dan menakutkan di malam yang gelap, tentu mereka akan terjaga karena ketakutan dan kekhawatiran akan adanya bahaya musuh yang menimpa mereka. Namun ketika telinga mereka mendengar suara anjing dan ayam jantan setibanya di suatu desa, mereka akan menjadi tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Padahal saat berada di jalan tanpa adanya suara dan senandung tadi, rasa kantuk itu tidak menghampiri mereka lantaran rasa takut yang mendera. Sementara ketika mereka sudah memasuki desa, rasa aman itu menyelubungi mereka meski gonggongan anjing dan kokok ayam jantan terus mengganggu mereka. Hati mereka tetap tenang, aman, dan bisa tidur dengan pulas.

Perkataan kita juga berasal dari rasa aman dan ketenangan, sebab kata-kata itu adalah ucapan para Nabi dan wali. Ketika jiwa kita mendengar percakapan para kekasih yang mereka kenal, kita akan merasa aman dan terbebas dari rasa takut, karena dari percakapan itu terhampar semerbak harapan dan kebahagiaan. Ini seperti seseorang yang berjalan bersama rombongannya di malam gelap. Setiap saat mereka menyangka—karena rasa takut mereka yang begitu dalam—bahwa para pencuri telah menyusup ke dalam rombongan itu. Mereka selalu ingin mendengar perbincangan para penunjuk jalan dan mengetahui suara mereka, dan ketika keinginan mereka terwujud, mereka merasa aman. “Katakanlah: Wahai Muhammad, bacalah,” karena esensimu begitu subtil dan pandangan-pandangan tidak akan mampu menyentuhmu. Tetapi di saat kau berbicara, tersingkaplah bahwa kau adalah seorang yang jujur dan sangat dikenal oleh jiwa-jiwa mereka sehingga mereka merasa aman dan tenang. Jadi, bicaralah!

Cukuplah tubuhku yang kurus ini menunjukkan bahwa aku seorang lelaki

Andai saja tak ada omonganku padamu, kau tidak akan melihatku

Di sebuah kebun, ada seekor binatang yang sangat kecil dan tak kasatmata, tetapi ketika ia bersuara, manusia akan bisa mengetahuinya lewat suaranya. Semua makhluk di kebun dunia ini tenggelam, dan begitu juga dengan esensimu yang sangat subtil dan tak kasatmata. Maka bicaralah agar aku bisa melihatmu. Ketika kamu ingin pergi ke suatu tempat, pertama kali hatimu yang akan pergi untuk menyaksikan dan meneliti keadaan di tempat itu, lalu ia akan kembali untuk mendorong tubuhmu. Jika dibandingkan dengan para Nabi dan wali, maka sekumpulan manusia itu seperti tubuh-tubuh, dan para Nabi dan wali adalah hatinya semesta alam. Pertama, hati akan pergi ke dunia sana, keluar dari karakter kemanusiaan, daging dan kulit mereka. Mereka mengamati tingkat kerendahan dan ketinggian kedua alam, dan melewati beberapa tempat tinggal sampai mereka mengenali jalan yang seharusnya dilalui manusia ini. Setelah itu mereka kembali untuk mengundang para makhluk seraya berkata: “Datanglah ke dunia yang asli di sana, karena dunia ini hanyalah rumah ketiadaan yang akan rusak. Kami sudah menemukan tempat yang bagus dan sekarang kami beritahukan pada kalian.”

Ketahuilah bahwa hati, dalam setiap keadaan, akan senantiasa menyertai orang yang dicintainya. Hati tidak akan merobohkan rumah, tidak akan takut kepada para penyamun, dan tidak membutuhkan pelana kuda. Tubuh yang buruklah yang terikat pada pada semua itu.

Aku berkata pada hatiku: “Wahai hati, karena kebodohanmu, kamu dilarang melayani orang yang kamu anggap sebagai raja.”

Hati menjawab: “Kamu salah membacaku dengan cara ini, aku akan terus melayani-Nya. Kamulah orang yang tersesat dan kebingungan.

Di mana pun kamu berada dan apa pun yang terjadi, berusahalah untuk selalu menjadi seorang pecinta dan perindu. Ketika cinta sudah menjadi milikmu, maka selamanya kamu akan menjadi seorang pecinta di mana pun kamu berada; di dalam kubur, di padang mahsyar, di surga, dan di segala tempat. Ketika benih gandum kamu tanam, maka benih itu akan tumbuh sebagai gandum, di gudang tetap menjadi gandum, dan di tungku perapian juga tetap menjadi gandum.

Majnun hendak menulis surat pada Laila. Ia memegang pena lalu menulis bait berikut:

Khayalanmu di mataku,
namamu di mulutku

Ingatanmu di hatiku,
lalu di mana lagi aku bisa menulis?”

Khayalanmu bersemayam di hatiku, namamu tak pernah lepas dari lidahku, dan ingatanmu memenuhi lubuk jiwaku, lalu ke mana harus kukirimkan surat ini padahal kau selalu berputar-putar di segala tempat? Majnun kemudian mematahkan pena dan merobek kertasnya.

Ada banyak manusia yang hatinya dipenuhi oleh kalimat-kalimat semacam ini, tapi mereka tidak bisa mengungkapkannya dengan ungkapan dan rangkaian lafal-lafal, meski mereka adalah para pecinta yang mencari dan condong padanya. Hal ini tidak mengherankan dan tidak akan mencegah mereka untuk terus mencinta. Sebaliknya, akar materinya adalah hati, kerinduan dan cinta. Seperti bocah yang merindukan air susu ibunya, yang mana dari susu itu mereka mendapat kemampuan serta kekuatan darinya. Tetapi bocah itu tidak bisa mendeskripsikan air susu atau menjabarkan pengertiannya. Dia tidak bisa berkata dengan bahasa ungkapan: “Kenikmatan yang kudapatkan dari air susu ini seperti ini. Andai aku tidak meminumnya, niscaya aku akan menjadi lemah dan menderita,” meskipun rohnya merindukan air susu dan bergantung padanya. Berbeda dengan orang dewasa, meskipun mereka bisa menjabarkan susu dengan ribuan cara, tetapi mereka tidak menemukan kenikmatan dan sudah tidak membutuhkan air susu ibu.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum