Akulturasi Jawa, Hindu dan Islam. Benarkah?

Akulturasi Islam, Hindu, dan Jawa dalam Tokoh Punokawan

Para Wali Songo berpendapat dalam penyebaran agama Islam selalu melihat kondisi masyarakat, baik dari adat istiadat maupun budaya yang berkembang saat itu. Wayang menjadi media yang sangat efektif dalam penyebaran Islam di Jawa waktu itu. Namun karena cerita dan penokohan wayang masih berdasarkan Teologi Hindu, para Wali Songo lantas sedikit mengubah wayang, terutama wayang kulit, dengan cara mengtransformasikan ajaran Islam ke dalamnya.

Oleh karena itu diciptakanlah tokoh yang fleksibel, lucu, mampu menarik perhatian penonton, dan bermakna tinggi dalam kaitannya dengan ajaran kehidupan. Lalu munculah tokon Punokawan. Punokawan berasal dari kata pana yang berarti tahu, berarti seseorang yang dijadikan utusan untuk memberi tahu atau memberi petunjuk. Punokawan dapat pula disebut sebagai pelambang suatu karsa yang agung dengan pikiran yang cerdas dan tajam serta disertai rasa seni dalam melaksanakan suatu karya. Dengan kata lain punokawan merupakan manifestasi dari karsa, cipta, rasa, dan karya manusia.

Punokawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, Bagong, merupakan sebuah personifikasi yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Mereka adalah tokoh-tokoh yang ditunggu penonton saat pertunjukan wayang. Saat tiba sebuah segmen cerita bernama Goro-goro, maka keluarlah para tokoh Punokawan yang mengantarkan cerita segar, lucu, dan sarat makna terutama syiar Islam yang dibungkus rapi dalam sebuah cerita menarik.

Tokoh-tokoh Punokawan terdiri dari Semar, Petruk, Nala Gareng, dan Bagong sebenarnya tidak ada dalam cerita asli wayang yang dicuplik dari kisah Mahabarata dan Ramayana.

Prof. K. M. A. Machfoel pernah menguraikan pendapatnya tentang makna punakawan, yakni Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Menurutnya, nama punakawan tersebut berasal dari bahasa Arab, yakni Semar dari Ismar, Nala Gareng dari Nalaa Qariin, Petruk dari Fatruk, Bagong dari Baghaa.

Semar

Ismar adalah paku, yang berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Tokoh ini dijadikan sebagai “paku pengokoh” terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai sumber kebijakan dalam mencari kebenaran terhadap sebuah permasalahan. Semar sebagai pelayan masyarakat. Ia melayani warganya tanpa pamrih, ia laksanakan tugas itu sebagai bagian dari ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar ketika berjalan menghadap ke atas, yang maknanya adalah ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas (Memandang Yang Kuasa), agar manusia selalu mengutamakan kebaikan dan kebenaran di bumi.

Gareng

Nalaa Qariin berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah ialah untuk memperoleh teman sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah. Ia memiliki kaki pincang, yang maknanya adalah sebagai sosok”kawula” atau bisa disebut juga dengan umat. Gareng juga memiliki cacat fisik lain berupa tangan yang ciker, tekle, atau patah. Filosofinya yaitu ia memiliki sifat yang tak suka mencuri atau mengambil hak milik orang lain. Cacat lain yang dimiliki Gareng yaitu mata juling, yang artinya dia tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan atau hal yang tidak baik.

Petruk

Fatruk berasal dari kata dalam sebuah kalimat wejangan “Fatruk Kullu Ma Siwallahii” yang berarti tinggalkan semua apapun yang menyimpang dari Islam sebagai agama Islam. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu. Petruk, yang dilambangkan dengan hidung yang panjang. adalah karakter yang tidak banyak bicara tapi banyak kerja. Hal itu dilambangkan dengan mulutnya yang tertutupi oleh hidungnya. Makna hidung panjangnya itu dia dapat mencium dan merasakan keadaan sekitarnya. Ia juga pribadi yang rajin bekerja serta memiliki amal perbuatan yang baik. Hal itu dilakukan dengan jalan meninggalkan segala yang berbau keburukan.

Bagong

Baghaa yang artinya berontak, dalam konteks ini yang dimaksud adalah berontak terhadap kejahatan atau kemungkaran. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Bagong berasal dari baqa’ yang berarti kekal atau langgeng. Di dalam agama Islam, baqa’ mengandung arti semua manusia hanya akan hidup kekal di akhirat. Bagong memiliki sifat yang jujur dan sabar. Dalam keseharian, ia tak pernah marah ataupun protes atas tekanan hidup yang menimpa dirinya. Bagong adalah pribadi yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pertimbangan untung dan rugi akibat dari pengambilan keputusan benar-benar dipikirkan dengan masak. Bagong juga dikenal dengan sebutan bayang-bayang Semar.

Nama-nama Arab tersebut kemudian dilafalkan dalam lidah masyarakat Jawa dengan nama Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Filosofi-filosofi tinggi yang diciptakan para Wali diterapkan pada semua lini dari mulai nama, tubuh, perilaku, pakaian, hingga jalan cerita, yang semuanya merupakan pengejawantahan ajaran Islam untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya perilaku hidup manusia yang baik.

Dengan metode dakwah yang cerdik, Wali Songo berhasil mendapatkan perhatian dan simpati dari masyarakat Jawa. Pendekatan dakwah dilakukan secara kultural, yakni dengan menggunakan kesenian masyarakat Jawa sebagai media syiar Islam. Salah satunya adalah penggunaan wayang, yang digunakan menjadi “senjata” untuk dakwah beberapa Wali Songo.

Wayang yang digunakan sebagai salah satu media penyebaran Islam di pulau Jawa disisipi oleh nilai-nilai Islam sedikit demi sedikit. Wayang yang kental dengan nilai-nilai Hindu digantikan dengan Islam, baik dari jalan cerita, lakon, filosofi pakaian, hingga lokasi pementasan wayang. Akulturasi antara Islam dengan lakon pewayangan dapat dilihat jelas dari munculnya tokoh Punokawan.

Sumber: jogjamagazine.com

Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Kegiatan ritualistik yang dimaksud meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.

Khusus mengenai shalat dan puasa, intisari dari shalat adalah doa yang ditunjukkan kepada Allah Swt, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.

Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara atau ritual, baik upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, dan juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal.

Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam.

Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Islam Jawa, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan manusia, rata-rata mereka mengadakan ritual selamatan, dengan memakai berbagai benda-benda makanan sebagai simbol penghayatannya atas hubungan diri dengan Allah Swt .

Bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam.

Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat, “menyatu” dalam dirinya.

Nilai-nilai Islam telah merasuki pelaksanaan upacara slametan dalam berbagai bentuknya. Berikut adalah beberapa jenis upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yaitu:

Upacara tingkeban

Upacara tingkeban atau mitoni, dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada upacara tingkeban ini seperti yang dilakukan di daerah Bagelen dibacakan nyanyian perjanjen dengan alat musik tamburin kecil. Nyanyian ini dibawakan oleh empat orang dan di hadapan mereka duduk sekitar 12 orang yang turut menyanyi. Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.

Upacara kelahiran

Upacara kelahiran, dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut, pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu slametan pada upacara ini disebut dengan korban aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah, ditandai dengan penyembelihan hewan akikah berupa kambing dua ekor bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
akulturasi budaya islam dan ritual jawa

Upacara sunatan

Upacara sunatan, dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Namun pada usia mana ank itu dikhitan, pada berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya antara usia empat dampai delapan tahun, dan juga antara usia 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang islam. karena itu seringkali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken, yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).

Upacara perkawinan

Upacara perkawinan, dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syariat islam yakni akad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita denga pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum aqad nikah, tahap akad nikah, dan tahap sesudah akad nikah (ngundhuh manten, resepsi pengantin).

Upacara kematian

Upacara kematian, upacara untuk orang-orang yang meninggal setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari, merupakan budaya lokal yang berlaku di Jawa, upacara tersebut disebut “selamatan” dari kata Islam dan salam, yakni kedamaian atau kesejahteraan. Upacara ini kemudian disebut tahlilan dari kata tahlil, yakni lafal la ilaha illa Allah secara bersama-sama. Tahlilan kirim doa kepada leluhur terkadang dilakukan oleh keluarga secara bersama-sama pada saat-saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang bulan Ramadhan. Upacara ziarah kubur ini disebut upacara nyadran.