Aku, Pena, dan Pria Berkacamata

Aku, Pena, dan Pria berkacamata

Menawan angin memang tak ada guna. Menggenggam secuil gula akan tetap bisa kita rasakan manisnya. Perumpaan yang nyata, tentang sebuah aksi klasik namun ada. Tak ada harap yang pasti, tetapi tetap membuahkan sejuta kebaikan yang berarti. Misteri-misteri heroik tak pernah nampak, tapi memang benar nyata maknanya. Tak percaya? Akan kubuktikan dengan sebuah tutur dalam kisah bijak. Termaktub, dalam tulisanku berbentuk baris dan sajak.

Ini kisahku. Tentang sebuah memori harsa dalam peluh cerita di bawah panasnya sang bastala. Meliuk-liukan resah, dalam nuansa hilangnya sebuah pena yang berharga. “Sial, masa depanku tergantung pada pena kuning itu!” peluhku.

Tubuhku sudah berjongkok sambil meraba-raba kolong kursi jok bus yang ku-tumpangi. Tatapan orang-orang tak kugubris. Bisik-bisik berbelas mulut, sudah tak membuat maluku tersulut. Bagaimana tidak, beberapa menit lagi, aku harus dihadapkan pada ujian penentu karirku. Apa yang enam bulan aku persiapkan, tak ingin begitu saja aku sia-siakan. Sialnya, tak akan ada waktu jika aku harus membeli sebuah pena. Dan aku hanya bisa menjerit, dalam pikiranku ang terlilit. “Tuhan! Tolong kembalikan penaku!” pekikku.

Tak ada yang mendengar, sungguh gusar. Gerutu sudah tak terbendungi, membuat satu sorot mata datang menghampiri. “Sedang apa mba?” tanya pria dengan sepatu kulit coklatnya. Aku menoleh, pemuda berkacamata hitam sudah berada di sampingku. Lalu, dengan hati-hati ia ikut berjongkok bersamaku. “Eh, anu Mas. Saya sedang mencari pena saya yang hilang,” jawabku.

Tak lama, ia menghadapkan tubuhnya pada jok kursi belakang tempat hilangnya penaku. Ia julurkan tangannya dan mulai meraba. Sepertinya ia sungguh iba melihatku. Namun naas, rem mobil sudah diinjak sang supir kuat-kuat. Pertanda, tempat tujuanku sampai. Dan sungguh, jiwaku sudah mulai melemas lunglai. “Hiks! Bagaimana ini?” teriakku sambil mengacak-ngacak rambut hitamku.

“Begini saja, Mba bisa memakai pena milik saya. Saya tidak keberatan kok Mba,” ucap pemuda berkacamata hitam itu. Mendengarnya, aku sedikit lega. Namun ketika melihat kartu identitas yang terlingkar pada lehernya, membuat aku mengurungkan niat untuk menerima tawarannya. “Bukankah Mas juga peserta ujian ya? Pasti-kan butuh juga penanya?”

“Tidak apa-apa Mba. Saya masih punya banyak waktu. Jadi, saya akan sempat untuk membelinya lagi. Ambil saja, tidak apa-apa,” ujarnya. Lantas, tidak berlama-lama lagi, dengan lembut aku membungkuk mengambil pena yang diberikan pemuda berkacamata itu. Rasanya sungguh ambigu, namun aku sudah tak mau ragu.

“Terima kasih banyak Mas. Saya tidak tahu harus membalas kebaikan Mas dengan apa. Terima kasih.” Lalu, pemuda itu mulai mengambil ransel hitamnya. Ia mengambil sesuatu dari kantong samping tasnya itu. Tak lama, didapatlah sebuah tongkat seperti pemandu orang yang tuna netra. Tentu hal itu membuat aku terkejut kalang kabut. “Iya sama-sama Mba. Kalau begitu, saya permisi.” Pungkasnya.

Lalu, pria itu mulai berjalan dituntun oleh tongkat panjangnya. Dalam tatap, membuat diriku menggagap terenyuh haru. Membisu, melihat apa yang ada di depanku. Seorang pemuda buta, menolongku tanpa penuh rasa ragu. Menjadi sosok heroik lugu, yang tak pernah berharap, aksinya akan dibalas oleh ribuan pujian yang merdu.

“Permis Mba. Mba! Mba!” Deg! Tatap lamunku buyar seketika. Mendengar sang supir bus sudah menyahut namaku berulang-ulang kali. Wajahnya terlihat kesal, namun aku hanya bergegas dan meminta maaf padanya penuh rasa sesal.

Saat itu juga, aku melangkahkan kakiku penuh rasa lega. Sekali lagi, aku menaikan sedikit ransel coklatku. Menghela nafas panjang dan mengepal kuat sebuah pena biru yang berukirkan nama Rindu. “Mas Rindu, aku akan menggunakan penamu dengan baik. Tolong doakan aku,” ujar batinku.

Selang beberapa ratus menit dan detik, akhirnya pertempuranku dengan aksara dan angka dapat kulewati dengan penuh rasa bangga. Hingga membawaku pada masa kini, menjadi aku yang bertengger pada karir cerahku di perusahan besar dan ternama. Jejak dari pena biru itu terus terbayang; terasa seperti aksara yang terukir dalam tubuh pena itu. Rindu. Sungguh, aku sangat merindu akan momen mengharukan itu. Pria itu, aku ingin kita bertemu. Bisakah aku membalas kebaikanmu tentang pena Rindumu?

Kini, banyak hal yang ingin aku siratkan. Ah, tidak. Tepatnya ingin aku suratkan. Tentang aku, dia dan kalian. Bahwasannya, selama nafas terus mendengus beraturan, selama jantung tak berdegup pelan, dan jalanmu tak berhalangan, luangkan waktu jika kau melihat orang yang kesusahan. Tak susah, tak membuat hati resah, selama mampu kenapa tak kau coba bantu? Dan untuk pria pemilik pena biru. Kau sungguh heroik. Semoga tuhan, membalas kebajikanmu dengan semua perihal yang mudah dan baik-baik.

Aku, Pena, dan Pria Berkacamata.pdf (257,9 KB)