Aku Menghendaki Untuk Tidak Berkehendak

Taman Surga

Seorang polisi akan selalu mengejar para pencuri untuk diamankan, sementara para pencuri akan selalu berusaha untuk melarikan diri. Sangat jarang sekali ada seorang pencuri yang mencari polisi untuk menyerahkan diri dan bertekuk lutut di depannya.

Allah SWT berfirman kepada Abu Yazid: “Apa yang kamu inginkan Abu Yazid?” Abu Yazid menjawab: “Aku menghendaki untuk tidak berkehendak.”

Manusia hanya memiliki dua kondisi: Berkehendak atau tidak berkehendak. Ketiadaan kehendak sama sekali bukanlah sifat manusia, sebab manusia akan menjadi kosong dan sirna tanpa kehendak. Selagi manusia masih ada, maka salah satu dari dua sifat tersebut akan tetap ada dalam diri mereka: Berkehendak atau tidak berkehendak. Tetapi Allah ingin menyempurnakan jiwa Abu Yazid dan menjadikannya sebagai seorang guru paripurna sehingga ia bisa meraih suatu keadaan di mana ia tidak lagi mengenal kata “kemenduaan” dan perpisahan. Ini merupakan bentuk penyatuan antara berkehendak dan tidak berkehendak. Segala penyakit dan kegelisahan akan muncul saat kamu menginginkan sesuatu tapi kamu merasa kesulitan untuk menggapainya. Tapi jika kamu tidak menginginkan apa pun, maka tidak akan ada kesakitan sedikit pun di sana.

Manusia terbagi ke dalam beberapa golongan dan tingkatan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka berusaha untuk meningkatkan diri dengan berusaha dan bekerja keras, namun apa yang diinginkan oleh hati dan pikirannya tidak terwujud di dunia nyata. Beginilah ketika kita membahas tentang takdir manusia. Ketika hati tidak tergelitik oleh sebuah keinginan dan tak terbesit di dalamnya sebuah pikiran, maka manusia telah berbeda haluan dengan ketentuan Tuhan, dan hal itu tak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan yang maha benar.

“Dan katakanlah (wahai Muhammad): ”Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan.” (QS. an-Najm: 42)

“Masuklah wahai orang yang beriman. Sesungguhnya cahayamu akan memadamkan api-Ku .

Ketika iman seorang Mukmin telah mencapai kesempurnaan yang hakiki, maka dia akan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh Allah SWT, baik dengan kehendaknya sendiri maupun dengan kehendak-Nya.

Dikatakan bahwa pascawafat Rasulullah Saw., wahyu tidak akan turun lagi kepada manusia, apa alasan tidak akan turun lagi? Sesungguhnya wahyu masih terus turun, meski tidak lagi disebut sebagai wahyu. Seperti yang pernah disinggung oleh Rasulullah dalam sebuah hadis:

“Orang Mukmin memandang dengan cahaya Allah.”

Ketika dia melihat dengan cahaya Allah, ia akan melihat segalanya; yang pertama dan yang terakhir, yang gaib dan yang tampak, karena bagaimana mungkin sesuatu bisa tersembunyi dari cahaya Allah? Kalau ada sesuatu yang tersembunyi, maka itu bukanlah cahaya Allah. Jadi, esensi dari cahaya itu adalah wahyu meski ia tidak disebut sebagai wahyu.

Ketika pertama kali Usman ra. menjadi khalifah, beliau segera menaiki mimbar, sementara orang-orang menunggu apa yang akan beliau katakan. Sang khalifah terdiam dan tidak berkata apa-apa. Beliau hanya memandangi kerumunan orang-orang yang datang. Tiba-tiba, mereka yang hadir dihinggapi oleh rasa takut dan tidak kuasa untuk beranjak pergi. Masing-masing mereka tidak ada yang tahu di mana yang lainnya duduk. Namun pada peristiwa besar tersebut, seakan-akan ada ratusan wejangan dan khotbah yang meresap ke dalam jiwa mereka. Berbagai hikmah tergenggam, beragam rahasia yang sebelumnya tidak diketahui tersingkap. Hingga waktu usai, khalifah terus memandangi mereka tanpa terucap sepatah kata pun. Sebelum meninggalkan mimbar, beliau berkata:

“Kalian lebih butuh pada pemimpin yang banyak bekerja dari pada pemimpin yang banyak bicara.”

Apa yang dikatakannya benar. Bila yang dikehendaki dari sebuah ucapan adalah hikmah, petuah, dan pembinaan moral, maka tanpa berkata apa pun, semua itu bisa diperoleh berkali-kali lipat dari yang diperoleh dengan ucapan. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Usman itu adalah untuk mengomentari dirinya sendiri. Selama berada di atas mimbar, beliau tidak melakukan sesuatu pekerjaan apapun yang bisa dilihat; beliau tidak salat, berhaji, bersedekah, beliau tidak menyebut nama Allah dan tidak pula berpidato. Dari sini kita mengambil kesimpulan bahwa amal perbuatan tidak hanya dibatasi oleh bentuk luarnya saja. Perbuatan lahiriyah itu hanyalah simbol dari pelaku amal yang sebenarnya yaitu roh.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sahabat-sahabatku seperti bintang-gemintang, siapapun yang kalian ikuti, pastilah kalian akan mendapat petunjuk.”

Ketika seseorang melihat bintang, ia akan menemukan jalannya padahal bintang itu tidak berkata sama sekali. Hanya dengan melihatnya, seseorang bisa menemukan jalan untuk mencapai tujuan mereka. Demikian juga ketika kamu melihat para wali Allah. Mereka berbuat baik padamu tanpa kata-kata, tanpa pertanyaan, tanpa khotbah, tapi maksud kedatanganmu bisa dipahaminya dan kamu akan sampai pada tujuanmu.

Siapa yang mau melihat, lihatlah aku,

karena pandanganku ini adalah peringatan bagi orang yang mengira cinta itu mudah.

Di dunia ini, tidak ada yang lebih sulit ketimbang menanggung sesuatu yang mustahil. Bayangkan jika misalnya kamu sudah mempelajari sebuah kitab dan kamu membenarkannya, mengubahnya dan mengutip kitab tersebut. Kemudian seseorang yang duduk di sampingmu membaca buku itu dengan salah, apakah kamu tahan untuk tidak membenarkannya? Tidak mungkin. Seandainya kamu belum membacanya, tentu persoalannya akan jadi lain, entah orang itu mau membaca dengan benar atau tidak di hadapanmu, semua tidak ada bedanya karena kamu tidak bisa membedakan yang salah dan yang benar. Demikianlah, menanggung sesuatu yang mustahil adalah sebuah mujahadat yang sangat berat.

Para Nabi dan wali tidak pernah melewatkan dirinya dari mujahadat. Mujahadat mereka yang pertama adalah memerangi hawa nafsu dan meninggalkan kesenangan serta syahwat duniawi, inilah jihad yang terbesar (jihad al-akbar). Ketika mereka telah sempurna dan sampai pada tingkat ketenangan yang meneduhkan, tersingkaplah mana yang salah dan mana yang benar di hadapan mereka. Mereka juga tahu siapa yang berbuat salah dan siapa yang berbuat benar. Mereka terus bermujahadah. Segala perbuatan makhluk yang menurut mereka salah, mereka akan melihat itu dan menanggungnya. Sebab jika mereka melakukan hal yang sebaliknya, yaitu membeberkan dan menjelaskan kesalahan manusia, maka tidak seorang pun yang akan berdiri di hadapannya dan menghaturkan salam kepadanya. Tapi Allah menganugerahkan kepada mereka kemampuan yang besar dan kesabaran luas untuk menangggung (kesalahan umatnya). Dari ratusan kesalahan tersebut, hanya satu saja yang mereka sebutkan dan selebihnya mereka sembunyikan agar tidak memberatkan manusia. Bahkan pada awalnya, mereka memujinya dengan berkata: “Kesalahanmu adalah perbuatan yang benar” lalu mereka menangkisnya dari berbagai kesalahan itu secara perlahan-lahan dan satu persatu.

Sebagaimana seorang guru yang mengajari seorang anak menulis, ketika si anak sudah menyelesaikan satu baris, ia menulis satu baris lagi dan menunjukkan hasilnya kepada gurunya. Di matanya, semua tulisan anak itu salah dan jelek, namun dengan bahasa yang ramah dan menyenangkan hati sang anak, ia berkata: “Bagus sekali. Tulisanmu sangat luar biasa. Selamat, selamat. Tapi kenapa kamu tidak menulis huruf ini dengan baik. Ini seharusnya ditulis begini, dan huruf ini seharusnya juga begini.” Sang guru menjelaskan huruf-huruf yang salah dan mengajarinya bagaimana seharusnya ia menulis. Selebihnya, sang guru memuji anak itu sehingga hati si anak tidak menjauh darinya dan jiwa anak yang lemah menjadi kuat dengan perbuatan baik sang guru, secara bertahap mereka terus diajari dengan cara tersebut.

Kita berharap semoga Allah menganugerahkan kemudahan pada sang Amir untuk meraih cita-citanya dan semua rencana hatinya. Semoga ia mendapatkan anugerah yang baik, yang tak pernah terbesit dalam benaknya dan tidak diketahuinya, sehingga jiwa sang raja bisa condong padanya. Kami berharap itu menjadi nyata. Karena di saat dia melihat anugerah dan mampu menggapainya, ia akan memandang malu pada segala cita-cita dan kesenangan sebelumnya. Sebagaimana pemberian ini, langkah dan nikmat ini bisa menentramkan jiwaku. Lantas bagaimana mungkin aku mengharapkan segala kesenangan itu? Demikianlah, semoga raja akan merasa malu. Itulah yang disebut dengan berkah, sesuatu yang tidak pernah terbesit dalam pikiran manusia dan terlintas dalam benaknya, karena setiap apa yang berkelebat dalam benak manusia hanya mengikuti kadar semangat dan kemampuannya saja. Sementara berkah dari Allah mengikuti kadar kemampuan-Nya. Oleh sebab itu, berkah adalah hak prerogratif Allah. Bukan milik dugaan dan cita-cita manusia. Sebagaimana dilansir dalam sebuah hadis Qudsi:

“Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, telah Aku sediakan kenikmatan surga yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga dan terlintas di hati manusia.”

Rumi berkata:

“Pemberian yang kamu harapkan dariku masih bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan digambarkan dalam hati. Tapi anugerah Allah telah melampaui semua batasan itu.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum