Aku dan Penyadaran di Persimpangan Jalan

image

Seperti biasa, pukul lima lewat hampir berdentang di jarum angka enam, aku berangkat sekolah. Ayah ibuku tak bisa mengantarku karena dua alasan yang berbeda, dua-duanya adalah pekerja, alasan pertama karena rute tidak searah sedangkan satu lagi karena tak bisa naik motor. Aku sudah terbiasa berjejal dengan teman satu mobil bahkan untuk menikmati perjalanan satu jam ke sekolah –seharusnya lima belas menit. Aku dijemput terawal karena paling dekat dengan rumah pak penjemput, dilanjutkan dengan menjemput teman lain dengan peta perjalanan sama selama tiga tahun aku bersekolah. Ketika sampai di persimpangan dekat pergudangan sibuk, seperti biasa aku menjumpai sosok itu lagi, aku sebut Pak Teduh –karena wajahnya teduh. Rambutnya memutih tapi raganya masih sibuk menoleh kanan kiri, menyebrangkan setiap motor dan mobil bahkan anak kecil berseragam kebesaran serta berwajah lesu. Beliau menyemangatinya dengan senyuman dan usapan hangat di kepala.

Begitu keras kehidupan di simpang itu. Udaranya bahkan tak layak dihirup oleh manusia, khawatir dengan paru-parunya. Para pekerja pergudangan yang sering kali seenaknya bila menyebrang jalan, atau sekedar nongkrong hahahihi di warung dekat pangkalan Pak Teduh. Juga para pengendara yang seringkali sombong dan suka egois sendiri. Bila Pak Teduh menghentikan laju dari arah utara, dan yang dari barat menyebrang, tak jarang masih ada yang menyerobot. Masih baik jika tidak terjadi apa apa dan kemudian meminta maaf. Tapi bila sudah ada yang menjadi korban, masih pantaskah gengsi meminta ruang.

Orang itu asal menyenggol satu motor dan tubuh lelah Pak Teduh, kemudian turun lantas marah-marah karena ia tak sudi motornya tergores motor lainnya. Menyalahkan Pak Teduh karena tak becus mengatur padatnya simpangan, memaki pengendara lain yang ‘menggores’ motornya. Kudengar sayup-sayup orang itu meminta ganti rugi, penduduk sudah terlanjur berkerumun mengadu mulut dengan orang itu. Ia tak mau tahu, ia minta seluruh lembaran uang hasil keringat Pak Teduh hari itu untuk mengganti biaya perbaikan lecet motornya. Pak Teduh yang penat dan tak mau ambil pusing menyerahkannya sukarela, walaupun isi hatinya mungkin tidak. Dan walaupun hasil uang itu sebetulnya tak cukup menambal goresan yang ada di motornya. Sungguh egois orang itu, bahkan lecet motornya adalah buah dari kesalahannya, ia malah menyalahkan orang lain dan semena-mena. Apa ia tidak memikirkan kondisi Pak Teduh dan pengendara motor lainnya?

Aku yang menyaksikannya sedari tadi karena memang kejadian itu menghentikan laju kendaraan, tak tega melihat Pak Teduh. Uang yang ada dikantongku cukup untuk membeli perlengkapan mading dan kertas bergaris untuk ujianku siang nanti. Aku urungkan niat, dan aku pikir aku bisa bersedekah besok pagi saat kembali bertemu. Namun yang terjadi, aku semakin kesal dan kepikiran dengan Pak Teduh. Aku kesal, mengapa orang-orang tadi tidak patungan membela Pak Teduh saja? Semakin lama aku kesal, semakin sadar, ternyata bisa dibilang aku juga egois. Kenapa aku menyalahkan orang lain sementara aku tidak berkutik? Sementara harusnya aku bisa menahan tidak jajan hari ini.

Keesokan paginya aku kembali berjumpa dengan Pak Teduh, mukanya tetap teduh meskipun semua orang tahu kemarin ia tertimpa nasib malang. Aku memberi uang seadanya kepada Pak Teduh, jumlahnya sama sekali tidak besar, namun senyum Pak Teduh dan ucap syukurnya tiap kali menerima uang, aku senang. Seperti yang kita tahu, banyak keegoisan terjadi di sekitar kita, persimpangan jalan, jalan raya, rumah, sekolah atau manapun, termasuk dalam diri kita. Keegoisan terdekat di sekitar kita adalah diri kita. Dengan aku menyalahkan orang tanpa berbuat apa-apa, aku merasa egois, aku tidak ingin menjadi sosok paling benar, termasuk untuk diriku.

#LombaCeritaMini #2.0 #dictiocommunity #EgoismediSekitarKita #CeritaDiRumahAja
#DiRumahAja!