Akhir dari Cerita?

hi

Akhir dari Cerita?

Puput Fadhilah

Pada pagi yang cerah, aku membangunkanmu dengan perasaan membuncah. Aku mengecupi wajahmu, menusuk pipimu dengan telunjukku, menyumbat lubang hidungmu, hingga mendorongmu sampai jatuh dari ranjang. Kemudian, kamu berpuar-pura marah dengan menggembungkan pipimu dan menggelitiki kakiku yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Menjadikan suasana pagi yang selalu ku impikan di sepanjang hidupku.

Aku yang selalu membetulkan dasimu yang miring, lalu kamu tertawa kecil sambil menggaruk kepala seolah mengatakan kalau kamu tidak becus mengikat sebuah dasi.

“Tapi kamu mampu menalankan bisnis besar”, Kamu tertawa.

“Jangan tertawa, jantungku jadi aneh tau!”

“Oh ya? Apakah wanitaku sedang salah tingkah?”

“Tutup mulutmu deh!”

Lalu sekali lagi kamu tertawa.


Ada banyak hal yang harus aku ceritakan tentang kamu. Seperti saat kita pertama kali bertemu atas ketidak sengajaan yang manis. Kita yang sama-sama baru di dunia perkuliahan, aku yang hampir terjatuh karena beberapa buku tebal yang membuat susah berjalan. Yang memaksamu untuk menyelamatkanku dari benturan lantai koridor pagi itu. Kamu yang merengkuhku, aku yang memandang wajahmu, dan kita yang berhenti pada suatu waktu yangb kita sendiri tak mengerti akan situasi.

Sejak saat itu, aku diam-diam menulis segurat harapan padamu. Di atas catatan itu, tersimpan setitik keraguan akan rasa yang saat itu ku pertanyakan. Ada benih cemas yang subur di antara keyakinan, dan terdapat setitik rindu untuk apa yang sedang kupikirkan tentangmu.

Desau risau seperti riak ombak saat pasang surut berlangsung, dan kamu adalah bulan yang berhasil memporak-porandakan samudera jiwaku. Aku terombang-ambing, aku terjatuh, aku terhempas oleh imajinasi-imajinasi tak bergunaku. Untuk saat ini aku mengatakan tak berguna karena memang imajinasi itu sangat merugikanku.

Dalam hari-hari yang membingungkan, aku memutuskan untuk menemuimu untuk melakukan pembicaraan. Dimana aku akan mengungkapkan jika ada ribuan kupu-kupu di paru-paruku. Bahwa aku tak bisa menekan senyumku ketika bertemu kamu.

Maka di sinilah kita. Di bawah pohon akasia yang merupakan satu-satunya mampu bertahan di kota ini. Aku meremat ujung bajuku gugup. Kegugupanku yang tak bisa menatap matanya mungkin menjadikan nilai minus di benaknya. Ingin sekali berubah menjadi lumba-lumba dan pergi dari segala kegugupanku saat ini.

“Apa ada yang ingin kamu katakan, put?”

Jantungku seakan lari dari tempatnya, suara huskymu yang menggetarkan itu di padu dengan kaos putih serta celana hitam, punggungmu yang selalu tergantung sebuah gitar, cukup menjadikanku pusing dan berdetak dengan kencang.

“A…aku ingin mengatakan sesuatu…”

Kamu diam, aku juga diam. Kita sama menahan nafas untuk hal yang akan terjadi. Dan kita pun harus menyiapkan diri untuk hal yang akan terjadi.

Dan ketika matahari tepat di titik tertingginya, pohon akasia yang kehilangan bayangan, kamu memelukku erat, menghirup aroma tubuhku dengan kelembutan yang nyaman, dan tentu saja membangunkan ribuan kupu-kupu di perut dan paru-paruku. Wajahku menjadi sedikit panas.

“Aku mencintaimu put, aku ingin menjadi orang yang berharga di hidupumu…”

Dan saat itulah, aku terisak, semakin lama semakin kencang. Mengakibatkan bajumu basah dan angin yang perlahan berhembus seakan menyertai kita. Aku memberanikan diri memandang mata hitamnya. Tak ada raut yang membuatku untuk menampar wajahmu.

“Apa kamu sedang melamarku?”

“tentu, aku sudah lama mengagumimu, semenjak kita bertemu, pandangan kita seakan tidak terputus. Menarikku pada sebuah rasa. Bahwa aku ingin menjadi separuh hatimu”

Tak ada yang bisa ku katakan, hanya umpatan cinta dan tangisan bahagia yang keluar di pipiku. Kamu tertawa terbahak-bahak sambil mencubit gemas pipiku.

“Jangan pergi dariku ya… put?”

Perkataan itu bermakna sihir yang mampu menundukkan diriku, membuatnya seperti penyihir yang hebat dan tentu saja membuat perutku menggelitik tak karuan.

“aku takkan pergi Dav…”

Dan kesepakatan itu meberi sebuah dampak padaku. Pada semua orang yang mengetahui kisah ini. Pada dunia yang mentertawakanku.

Sebuah perjanjian yang memaksaku sadar. Kamu tak kan pernah kembali.


Pada suatu pagi, kamu di temukan tak sadarkan diri di kamar mandi, dengan sayatan di kedua tanganmu dan beberapa obat-obatan yang mungkin ku tau kegunaannya.

Kamu yang memillih ingkar, memilih menaruh semua kesepakatan di kedua bahuku.

Memaksaku untuk berkata ‘sanggup’ serta membuatku berhenti berbicara kepadamu.

Lalu kamu perlahan menghilang, bersama ingatan yang tak pernah pergi… sepertimu.

Yang bisa ku lakukan adalah mengusap fotomu supaya tidak usang, berdansa dengan lagu ciptaanmu, menyiapkan segelas kopi di samping tempat tidur, dan mengucap rindu di sela-sela air mata malamku. Selamat tidur kamu… datanglah di mimpiku.

Aku rindu.

Jombang, 26 September 2020