Agaimana Sejarah Strukturalisme?

strukturalisme
Dalam sosiologi, antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang unsur budaya manusia harus dipahami dalam hal hubungan mereka dengan yang lebih besar, sistem secara menyeluruh atau umum disebut struktur. Bagaimana Sejarah Strukturalisme?

Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, ilmu pengetahuan turut serta mengalami kemajuan. Kemajuan dalam hal ini diartikan sebagai kondisi dimana terdapat inovasi untuk memahami objek ilmu pengetahuan secara lebih baik. Faktanya terlihat ketika epistemologi yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan telah berkembang dan semakin beraneka ragam jenisnya, terutama di dalam ilmu pengetahuan sosial. Bertambahnya ragam epistemologi tersebut sulit dipisahkan dari keberadaan epistemologi sebelumnya. Maka dari itu, epistemologi baru acapkali merupakan wujud kritik ataupun pengembangan dari epistemologi pendahulunya.

Keadaan ini berlaku bagi strukturalisme sebagai salah satu epistemologi dalam ilmu pengetahuan sosial. Berdasarkan sejarahnya, strukturalisme adalah epistemologi yang mengkritisi positivisme. Kemunculan strukturalisme dipopulerkan oleh Claude Levis-Strauss, seorang ahli antropologi perancis. Selain itu, terdapat pula strukturalisme yang dikembangkan oleh Werner, antropolog amerika serikat. Meskipun demikian, bagian ini hanya fokus mengkaji strukturalisme yang dikembangkan oleh Levi-Strauss.

Berkembangnya salah satu aliran struktural yang dipelopori oleh Levi-Strauss mulai nampak sekitar tahun 1950-an hingga 1960-an. Strukturalisme yang dibawakan oleh Levi-Strauss erat kaitannya dengan struktural-fungsionalisme yang dipopulerkan oleh Radcliffe-Brown. Adanya kaitan diantara keduanya dikarenakan terdapat pengaruh dari teori-teorinya Durkheim. Meskipun demikian, aliran struktural yang dipahami keduanya tidaklah sama. Radcliffe-Brown mempelajari keteraturan dalam tindakan sosial yang ia lihat sebagai ekspresi struktur sosial yang dibentuk oleh jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok. Sementara LeviStraus berpendapat bahwa struktur itu berada dalam alam pikir manusia dan memandang interaksi sosial sebagai manifestasi keluar dari struktur kognitif tersebut (Saifuddin, 2005: 192).

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, strukturalisme hadir karena ketidakpuasan atas hasil kajian antropologi dengan menggunakan positivisme. LeviStrauss kemudian menyangkal argumen Wiener yang meragukan keobjektifan dalam ilmu pengetahuan sosial. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa di dalam ilmu sosial terkandung objektivitas tanpa harus mengikuti aliran positivisme. Adapun dasar maupun alasan yang digunakan oleh Wiener untuk mempertanyakan keobjektifan tersebut.

Pertama, Wiener (Levi-Strauss, 2005: 75-76) beranggapan sifat ilmu sosial sendiri berimplikasi bahwa perkembangannya berkumandang pada objek investigasinya. Artinya, termuat hubungan saling mempengaruhi antara peneliti sosial dengan objek penelitiannya yang acapkali berupa fenomena sosial di masyarakat tertentu. Argumen Wiener itu atas dasar bahwa ilmuwan sosial dan objek yang ditelitinya berada pada kesamaan satu tatanan (orde). Salah satu contohnya adalah ketika seorang pengamat melakukan penelitian di suatu komunitas yang mempunyai tata aturan serta adat tersendiri. Otomatis si pengamat kemungkinan besar terhanyut ke dalam tata aturan milik masyarakat yang dipelajarinya. Terlebih lagi, si pengamat biasanya berasal dari luar kebudayaan objek penelitiannya. Kemungkinan si pengamat mempengaruhi tingkah laku serta kebudayaan pada masyarakat yang ditelitinya dapat terjadi. Hal ini berbeda dengan ilmu alam yang secara jelas keobjektifannya dapat dipertanggungjawabkan. Objektivitas dalam ilmu alam nampak pada keterpisahan hubungan antara sang pengamat dengan objek yang ditelitinya. Kita dapat mengambil contoh seorang geolog dalam meneliti gunung berapi. Walaupun jarak diantara keduanya saling berdekatan, namun sang peneliti sulit mempengaruhi aktivitas objek penelitiannya. Aktivitas gunung berapi akan berjalan seperti biasa berdasarkan hukum-hukum alam tanpa pengaruh atas kehadiran peneliti di sekitarnya.

Kedua, fenomena-fenomena yang ditempatkan sebagaimana adanya dalam riset-riset sosiologi dan antropologi didefinisikan menjadi fungsi kepentingan kita sendiri, yang berkaitan dengan kehidupan, pendidikan, karier dan kematian individu seperti kita. Dengan kata lain, keobjektifan mustahil diperoleh ilmuwan sosial karena objek penelitiannya adalah seorang individu seperti halnya peneliti itu sendiri. Singkatnya, peneliti ilmu sosial melakukan penelitiannya terhadap dirinya sendiri sebagai seorang individu. Inilah yang menjadi alasan Wiener terkait ketiadaan objektivitas di dalam ilmu sosial.

Pandangan Wiener mengenai kemustahilan objektivitas ilmu sosial akhirnya ditolak oleh Levi-Strauss. Ia meyakini adanya keobjektifan yang terkandung dalam ilmu sosial. Gagasan Wiener dibantahnya dengan alasan bahwa keobjektifan ilmu sosial mampu dicapai karena terkandung suatu elemen dalam kebudayaan yang tidak bisa dipengaruhi oleh si peneliti. Elemen kebudayaan yang dimaksud adalah bahasa. Realitasya tergambarkan pada fenomena seorang individu ketika berbicara. Tatkala individu berkomunikasi melalui bahasa, ia sebenarnya tidak menyadari aturan-aturan yang berlaku dalam pembentukan kalimat yang disampaikan. Aturan-aturan itu acapkali disebut sebagai tata bahasa yang dimiliki oleh segala jenis bahasa di muka bumi ini. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tata bahasa bersifat unconsciousness. Berdasarkan kenyataan itu maka sulit rasanya jika seorang peneliti mampu mempengaruhi grammar yang notabene berada dalam alam bawah sadar. Seperti halnya bahasa, kebudayaan yang menjadi objek penelitian ilmu sosial sebenarnya berasal dari alam bawah sadar manusia sehingga sulit dipengaruhi oleh pihak peneliti.

Atas dasar itulah selanjutnya LeviStraus mencari jalan memahami kebudayaan tanpa memakai positivisme dan lebih memilih mendekati linguistik. Menurutnya, para antropolog semestinya mengadopsi analisis linguistik, terutama analisis struktural bahasa dengan alasan ilmu linguistik mengkaji bahasa, notabene sebuah fenomena sosial yang mempunyai dua karakteristik mendasar dan akan membuatnya semakin relevan untuk analisis ilmiah (Ahimsa-Putra, 2003: 247). Sejumlah karakteristik mendasar yang dimaksud oleh Levi-Strauss antara lain, pertama, bahwa sebagian perilaku bahasa adalah produk dari alam bawah sadar pikiran manusia. Kenyataan ini nampak ketika seseorang berbicara, ia tidak sadar akan sintaksis dan hukum morfologi dalam bahasa yang digunakan. Maka dari itu, dalam melakukan kajian terhadap bahasa, seorang peneliti tidak perlu khawatir apabila kehadirannya mempengaruhi objek yang ditelitinya. Hal ini dikarenakan si peneliti tidak dapat mempengaruhi maupun mengubah fenomena bahasa tersebut. Kedua, dalam sejarah kehidupan manusia, bahasa merupakan elemen yang muncul lebih awal. Karakteristik inilah yang semakin memantapkan posisi kajian bahasa sebagai objek penelitian yang sah.

Selain kedua hal itu, Levi-Strauss menyadari bahwa terdapat persamaan diantara bahasa dan kebudayaan. Ia berpandangan kita juga bisa memperlakukan bahasa sebagai kondisi kebudayaan, melalui dua cara (Levi-Strauss, 2005: 93). Pertama, hubungan diakronis, dengan cara berbahasalah individu mampu memperoleh kebudayaan dari individu lain maupun kelompoknya. Kenyataan ini nampak ketika seorang anak dalam masyarakat jawa mengambil ataupun menerima sesuatu dengan tangan kiri justru dimarahi oleh orangtuanya. Hal ini dikarenakan perilaku mengambil dan menerima dengan tangan kiri dianggap tidak sopan dan tidak baik bagi masyarakat jawa. Tangan kananlah yang seharusnya digunakan untuk melakukan hal itu. Melalui bahasa yang diucapkan oleh orang tuanya, seorang anak mulai membiasakan diri bertingkah laku sesuai nilai yang dianggap benar oleh orang tuanya.

Kedua, dengan cara menempatkan diri pada sudut pandang yang lebih teoritis. Seperti halnya bahasa, kebudayaan memiliki arsitektur yang sama dengan arsitektur bahasa. Keduanya sama-sama dibangun dengan cara oposisi dan korelasi melalui hubungan yang logis. Dalam bahasa, kita selalu mengenal adanya antonim dalam setiap kata. Begitu juga dalam kebudayaan, terkandung pula dua kondisi yang bertolak belakang. Beberapa contoh keadaan dalam suatu kebudayaan yang saling berlawanan (oposisi) antara lain baik dan buruk;

Claude Levi Strauss yang dikenal sebagai bapak Strukturalisme, sebab dialah yang pertama kalinya menggunakan pendekatan linguistic struktural dalam kajian atau analisis budaya. Belakang pendidikan filsafat, namun ia mulai tertarik dengan antropologi ketika menjadi professor sosiologi di Sao Paulo, Brazil, dan menjelajahi daerah-daerah pedalaman di Brazil antara tahun 1934-1939.

Ketika NAZI mulai berekspansi keluar dari negeri Jerman, Lavi Strauss pindah ke New York (USA), Claude Strauss menjadi pengajar etnologi, sebuah Universitas yang didirikan oleh kaum intelektual pelarian Prancis.

Di sinilah kecenderungan structural yang sudah lama ada dalam diri Claude Strauss berkembang dan menjadi matang dan di kota inilah ia berjumpa dengan seorang linguis bernama Roman Jakobson. Perkenalannya dengan linguistic modern inilah yang akan mengubah haluan kariernya. Claude Levi Strauss mulai melihat kemungkinan penerapan ilmu linguistic pada antropologi budaya.

Dikemudian hari ia memang berhasil mewujudkan impiannya itu. Budaya baginya adalah bahasa. Levi Strauss melahirkan konsep strukturalisme sendiri akibat ketidakpuasannya terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat itu tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri.

Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique 1955 ia menyatakan bahwa penelaan budaya perlu dilakukan dengan model linguistic. Ia tidak setuju dengan Bragson yang menganggap tanda linguistic dianggap sebagai hambatan yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak.

Menurut Levi Strauss bahasa yang digunakan merefleksikan budaya atau perilaku manusia tersebut. Oleh karena itu ada kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat. Dari sinilah bisa disimpulkan teori pemikirannya Levi Strauss lebih mengarah kepada Bahasa dan Budaya.

Dalam beberapa pemikiran yang sudah tertuangkan banyak pemaknaan yang menggunakan teori Bahasa. Karena Levi Strauss beranggapan bahwa dengan Bahasa kita dapat mengetahui arti makna yang terdapat pada suatu Budaya.

Levi Strauss juga mengartikan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap kebudayaan yang dianutnya dengan menggunakan metode Bahasa. Dengan mengetahui cara bahasa yang digunakan oleh masyarakat maka akan mengetahui bagaimana pemaknaan dari kebudayaan tersebut.

Pada tahun 1947 Claude Levi Strauss kembali ke Prancis dan menempuh ujian doktornya di Uneversitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures Elementaires De La Parente. Pada tahun ini juga Claude Levi Strauss bertemu dengan Jacques Lacan, seorang ahli psikologi analisis dirumah Alexander Koyre.

Namun pertemuan mereka tidak memperngaruhi pemikiran Claude Levi Strauss tentang strukturalisme dan juga tidak ada kaitannya karena petemuan mereka yang sampai menjadi sahabat itu tidak digunakan untuk membicarakan strukturalisme, antropologi, atau filsafat. Tetapi pertemuan mereka selama beberapa tahun hanya digunakan untuk membicarakan seni dan sastra.

Pada tahun 1949, Claude Levi Strauss menunjukkan konsistensi dan keteguhannya untuk menekuni bidang antropologi dengan menggunakan pendekatan struktural melalui terbitan buku dari disertasinya. Strukturalisme dipandang sebagai salah satu penelitian kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan.

Strukturalisme Levi Strauss secara implisit menganggap teks naratif, seperti mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan dua hal. Pertama, teks merupakan kesatuan yang bermakna (meaningful Whole), yang dapat dianggap mewujudkan atau mengekspresikan, pemikiran pengarang, seperti kalimat yang mengejawantahkan pemikiran seseorang pembicara.

Apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut, seperti halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekedar makna diekspresikan kata-kata membentuk kalimat tersebut. Kedua, sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersamasama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak.

Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan masalah antropologi budaya yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena dalam kebudayaan. Pada analisis structural, struktur dibedakan menjadi dua macam yaitu struktur lahir atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure).

Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat atau bangun berdasarkan ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil dibuat serta dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau dibangun.

Struktur dalam inilah yang digunakan sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami fenomena kebudayaan yang dipelajari. Struktur luar misalnya saja mitos, system kekerabatan, kostum, tata cara memasak dan sebagainya. Berbeda dengan struktur dalam yang merupakan struktur dari struktur permukaan.

Struktur permukaan mungkin dapat disadari, tetapi struktur dalam berada dalam tataran tidak disadari. Dengan menggunakan analisis structural, maka makna yang ditampulkan dari fenomena-fenomena sutau kebudayaan diharapakan akan menjadi utuh.

Dengan mengkaji mitos, Levi Strauss, dengan menggunakan paradigm structural dapat mengungkapkan logika yang ada di balik mitosmitos yang nampak dari structural luar tersebut. Logika dasar tersebut terwujud dari aktifitas kehidupan sehari-sehari manusia. Berbagai fenomena budaya merupakan wujud dari nalar tersebut.