Abusive Relationship: Menderita Atas Nama Cinta

Media sosial belakangan ini santer memberitakan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pasangan. Beberapa penyintas akhirnya bersuara tentang luka yang dialaminya dengan harapan tidak ada lagi korban yang terjebak dalam abusive relationship.

Setiap perempuan Indonesia berpotensi terjebak dalam abusive relationship. Berdasarkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020, tercatat telah terjadi kekerasan dalam ranah pribadi (hubungan pernikahan dan hubungan pacaran) sebanyak 11.105 kasus. Angka tersebut meraup posisi 75% dari total keseluruhan kasus yang ditangani oleh Komnas Perempuan. Ranah pribadi setiap tahunnya secara konsisten menempati angka tertinggi yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir. Hal ini membuktikan bahwa ranah pribadi adalah ranah yang paling berbahaya bagi perempuan.

Dalam pandangan Wolfe dan Feiring, abusive relationship atau kekerasan dalam hubungan dipandang sebagai:

Seluruh upaya untuk menguasai dan mendominasi pasangan secara fisik, seksual, atau psikologi sehingga mengakibatkan luka dan kerugian.

Efek destruktif dari abusive relationship mengakibatkan korban mengalami low self-esteem, depresi, gangguan kecemasan, dan bahkan berpotensi mengalami dorongan besar untuk bunuh diri.

Apabila disadari, abusive relationship sering kali tidak terlihat, karena biasanya abusive relationship tidak langsung disertai dengan kekerasan fisik, sehingga para korban sering tidak menyadari bahwa ia sedang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. Bahkan orang-orang yang terjebak dalam abusive relationship, baik korban maupun pelaku, terkadang tidak menyadari dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan dari hal tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa abusive relationship dapat mempengaruhi kualitas hidup dan karakter seorang individu.

Masyarakat awam umumnya memandang kekerasan hanya sebatas kekerasan fisik seperti menampar, memukul, dan tindakan lain yang membahayakan fisik. Namun perlu diketahui bahwa ada bentuk kekerasan lain yang dampaknya tidak kalah traumatis dari kekerasan fisik, yakni kekerasan psikologis dan kekerasan seksual.

Kekerasan psikologis dalam pandangan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

Segala tindakan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Bentuk kekerasan psikologis yang kerap terjadi namun tidak disadari adalah kritik yang merendahkan pasangan. Dalam hal ini pelaku kerap mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan dan memberikan label buruk kepada korban. Akibatnya korban merasa dirinya rendah dan kehilangan kepercayaan diri. Seringkali kekerasan psikologis ini ditutup dengan alasan bahwa komentar buruk tersebut dilontarkan atas dasar rasa kasih sayang dan cinta terhadap pasangan, padahal tujuan utama dari tindakan tersebut adalah untuk mendapatkan kontrol atas diri korban.

Mengenai kekerasan seksual, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 15 bentuk atau wujud dari kekerasan seksual. Dari 15 bentuk kekerasan seksual yang ada, pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual adalah salah satu kekerasan yang kerap terjadi. Perlu diingat bahwa kekerasan seksual dapat terjadi baik didalam hubungan pacaran maupun dalam hubungan pernikahan. Konsepsi yang berkembang dalam masyarakat patriarkis sering menyatakan bahwa setelah perempuan menikah maka sang suami memiliki “hak milik” atas dirinya. Mirisnya hal tersebut selalu dijadikan pembenaran saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga. “Saya suaminya, saya berhak atas dirinya”. Konsep tersebut merupakan suatu kekeliruan besar. Perempuan harus tetap dipandang sebagai individu merdeka yang berhak atas dirinya sendiri sekalipun ia berada dalam hubungan pernikahan. Dengan demikian, dalam berhubungan seksual atau apapun itu perlu adanya consent (persetujuan) dari kedua belah pihak.

Selain ketiga jenis kekerasan tersebut, pelaku kerap kali menerapkan sejumlah pembatasan yang mengurangi ruang gerak korban, seperti pembatasan secara financial, pembatasan perihal spiritual, dan pembatasan dalam melakukan peran sosial. Pembatasan tersebut tentu berdampak pada kemampuan korban untuk mengembangkan dirinya. Oleh sebab itu, pembatasan-pembatasan yang ditujukan untuk mengekang korban tentu tidak boleh dikesampingkan keberadaannya.

Sosok Pelaku

Terdapat suatu korelasi antara sifat manipulatif pelaku dengan memori tentang masa kecilnya. Pada umumnya pelaku atau abuser memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan. Kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi oleh keluarganya, sehingga ketika beranjak dewasa ia berusaha untuk menutupi rasa tidak aman tersebut dengan mendapatkan kekuasaan atas orang lain, yakni dengan mendominasi dan mengendalikan pasangannya. Pelaku tentu menyangkal atau tidak mengakui manipulasi dan kontrol yang dilakukannya, karena apabila ia mengakui kedua hal tersebut, itu sama artinya dengan menelanjangi dirinya sendiri. Pengakuan tersebut akan menyakiti egonya dan menempatkan pelaku dengan ketakutan terbesarnya. Ketika melakukan perilaku abuse pun, pelaku cenderung tidak memikirkan perasaan sakit yang mungkin akan dialami oleh pasangannya, karena fokus utamanya adalah menang pada kompetisi nihil nan absurd yang ada dibenaknya. Baginya hubungan adalah suatu kompetisi yang harus selalu ia menangkan.

Pola pada pelaku kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual berbeda-beda. Dalam kekerasan fisik, setelah melakukan kekerasan, pelaku biasanya akan meminta maaf atas perilakunya, berjanji tidak akan mengulanginya lagi, namun pada faktanya pelaku akan melakukannya kembali. Sedangkan pada kekerasan psikologis, dari awal pelaku memang tidak pernah mengakui manipulasi yang ia lakukan sehingga korban merasa bingung, cemas, dan bimbang akan perasaan yang dirasakannya karena tidak adanya pengakuan secara langsung dari pelaku. Seperti yang telah dijelaskan diawal, efek dari kekerasan psikologis mungkin tidak terlihat seperti fisik, namun korban tetap merasa bahwa apa yang ia rasakan adalah suatu hal yang nyata meskipun tidak meninggalkan bukti fisik pada tubuhnya. Sementara pada kekerasan seksual, pelaku akan membungkus manipulasinya secara rapi. Ia akan memberikan berbagai janji manis dan harapan kepada korban apabila korban mau menuruti keinginannya. Terkadang apabila pelaku tidak mendapatkan keinginannya, seringkali pelaku juga mengancam atau bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap korban.

Mengakhiri Adalah Awalan

Menjadi korban dalam abusive relationship bukan suatu hal yang mudah, korban tentu mengalami suatu ketakutan hingga sulit mengkomunikasikan apa yang telah ia alami. Terlebih apabila kekerasan tersebut telah menjadi pola, maka rasa bahwa dirinya patut didengarkan dan dihargai secara otomatis juga terdegradasi dengan sendirinya. Korban akhirnya beranggapan bahwa satu-satunya yang dapat memberi rasa aman, kepercayaan, dan cinta adalah pelaku itu sendiri, hal tersebut tentu dikarenakan efek manipulatif yang telah diciptakan oleh pelaku. Kemudian saat korban ingin membuka diri, dalam alam bawah sadar korban tercipta rasa bersalah seolah telah mengkhianati orang yang ia cintai, akibatnya korban mengurungkan niatan untuk mencari bantuan kepada orang lain. Untuk dapat menyelamatkan korban perlu dilakukan pemahaman dalam konteks korban.

Lalu apa yang dapat kamu lakukan saat terjebak dalam hubungan yang tidak sehat?

Mengutamakan keselamatan adalah jawabannya. Abuser umumnya memiliki siklus dimana intensitas kekerasan yang dilakukan selalu meningkat, sehingga kamu perlu membuat suatu batasan tegas tentang sejauh apa ia dapat bertindak kepadamu. Saat ia sudah melampaui batasan tersebut maka jangan segan untuk meninggalkannya. Ingatlah bahwa kamu tidak akan bisa mengubah dirinya dan sifat buruknya. Oleh sebab itu, beranilah untuk mengakhiri siklus hubungan tidak sehat yang sedang menjeratmu. Memang terasa sulit dilakukan, namun selalu pertanyakan hal ini kepada dirimu: “benarkah cinta itu harus menderita?” Apabila jawabannya tidak, maka kemasi semua hal dan pergilah.

Nayyirah Waheed berpesan:

‘No’ might make them angry but it will make you free.

Ingatlah selalu bahwa kemarahan mereka tidak ada artinya dibandingkan kebebasanmu.

Bagi pasangan yang sudah menikah untuk keluar dari hubungan yang abusive tentu memiliki tantangan tersendiri, namun tidak ada salahnya untuk membuat mitigasi atau exit strategy sedini mungkin. Pertama, kamu dapat menyimpan semua surat penting seperti akta kelahiran dan ijazah pada satu tas dengan pakaian dan uang secukupnya. Apabila intensitas kekerasan semakin meningkat hingga mengancam keselamatan, segeralah pergi dengan tas tersebut. Kedua, simpan kontak orang terdekat yang mengerti permasalahan yang sedang kamu hadapi sebagai emergency contact yang dapat kamu hubungi pada saat genting. Terakhir, cari bantuan profesional dalam hal psikologis dan hukum apabila telah terjadi kekerasan.

Apabila kamu mengetahui teman atau saudara yang sedang terjebak dalam hubungan tidak sehat ada baiknya kamu coba untuk mengajak mereka berbicara tanpa terkesan sedang mencari informasi, banyak bertanya, atau menghakimi. Beri dukungan bahwa dia berharga untuk mengembalikan sedikit demi sedikit kepercayaan dirinya yang hilang. Tidak menutup kemungkinan bahwa kamu akan merasa “gemas” kepadanya yang terkesan tidak mau mendengarkan nasihatmu sehingga ia selalu kembali pada pelaku dan jatuh pada lubang yang sama. Namun selalu ingat bahwa kamu adalah satu-satunya orang yang dapat mengalihkan perhatiannya dari pelaku. Jika kamu berpaling darinya, ia akan kembali pada pelaku.

Mari bergerak bersama menghapus stigma, peka dan peduli dengan orang-orang disekelilingmu, cintai dirimu dan selalu sayangi kesehatan jiwamu.

Daftar pustaka

  • Marlia, M. (2007). Marital Rape; Kekerasan Seksual terhadap Istri . Pustaka Pesantren
  • Paramita, Greta Vidya. (2012). Emotional Abuse Dalam Hubungan Suami-Istri. Humaniora . 3 (1), 253-260.
  • Sekarlina, Irma, & Margaretha. (2013). Stockholm Syndrome pada Wanita Dewasa Awal yang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh Kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental . 2 (3), 1-6.
  • Wolfe, D. A., & Feiring, C. (2000). Dating violence through the lens of adolescent romantic relationships. Child maltreatment , 5 (4), 360-363.
  • Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020