2020: Sebuah Suryakanta

2020: Sebuah Suryakanta

(n) Suryakanta
[sur.ya.kan.ta] • Indonesia
Kbbi (n.) Kaca bundar (untuk melihat suatu benda supaya kelihatan besar);
kaca pembesar; lensa.

Suatu hari di bulan November,
tahun 2020.

Apa kabar jadi pertanyaan yang sedikit hambar. Haruskah kujawab baik-baik saja saat banyak rencana terhapus tanpa sempat digambar?
Menulislah, agar hatimu tidak gelisah. Menulis saja, agar kamu lebih bijaksana memandang segala sesuatunya. Itu adalah beberapa kalimat yang pernah kudengar saat sekolah. Entah kamu menamainya apa, sepucuk surat, cerita, esai, atau sepenggal kata-kata. Apapun itu, aku ingin menuliskannya, untukmu. Iya kamu, diriku di masa depan. Bersediakah kamu membacanya hingga akhir?
Halo, memasuki bulan November. Hujan dan dingin jadi frasa yang sesuai. Menjelang akhir tahun 2020, ingatan-ingatan tentang setahun yang telah dijalani seakan berputar seperti kaset dalam pikiran. “Rasanya baru kemarin.” “Apa yang sudah kulakukan selama setahun ini?” “Apakah aku sudah menjalani hidup dengan lebih baik di tahun ini?” Itulah beberapa pertanyaan yang muncul di benak, mengingat diri yang (hampir) berhasil melewati tahun 2020 ini. Dua ribu dua puluh-2020-dua nol dua nol. Tahun dengan kombinasi angka yang unik, seakan menggambarkan banyak peristiwa yang terjadi di tahun 2020. Unik. Menarik. Sakit. Sulit. Berisik. Tidak baik. Penuh intrik. Politik. Cantik. Gelitik. Ciamik Kilas balik. Konflik. Antik. Romantik. Corak-carik. Rintik. Menarik. Jungkir balik. Tercabik. Baik. Asyik. Polemik. Artistik. Epik. Mencekik. Autentik. Panik. Becik. Ramai bagai motif batik. Atau? Pandemik. Apapun itu makna yang terlintas tentang 2020 tentu berbeda bagi tiap orang. Banyak rasa. Banyak makna. Banyak pula yang ingin kuceritakan padamu. 2020. Sebuah refleksi.

#1 #NantiKitaCeritaTentang2020
Januari-Februari: Meraki
[may-rah-kee] • Greek
(n.) to put something of yourself into your work.
Soul. Creativity. Love.

          Awal tahun ini ada banyak doa yang diaminkan. Tahun baru, semester baru, semangat baru. Paruh pertama dua ribu dua puluh aku lalui dengan semangat dan percaya diri. Setelah berlibur cukup lama, kembali ke rutinitas jadi hal yang dirindui. Saat itu, aku yang bersemangat mengikuti pekan kesejarahan. Belajar tentang sejarah di Bali selama hampir sepekan. Tentu saja menyenangkan. 
        Kau tahu? Hal yang aku syukuri dari Januari dan Februari tahun ini adalah kesempatan. Iya, kesempatan. Aku bersyukur bisa mengikuti pekan kesejarahan dengan nyaman dan tenang. Sebelum pandemi menyerang. Menjelajah Bali melalui sejarah dan kebanggaan. Di Pantai Pandawa senja itu. Bedugul dan rintik gerimis. Museum dan peninggalan masa silam. Langit biru yang menenangkan.  Ini adalah momen yang akan terus dikenang. Bali dalam ingatan bersama teman-teman.  Aku benar-benar menyadarinya “sekarang”. Bahwa kebersamaan itu berharga. 

#2 #NantiKitaCeritaTentang2020
Maret-April: Bibliophile
(n.) Book lovers, a person who collects or has a great love of books.

          Maret 2020, awal dari semuanya. Hari itu 2 Maret 2020, hari pertama perkuliahan di semester genap. Awalnya semua baik-baik saja, berjalan sebagaimana mestinya. Dua minggu pertama di bulan Maret aku lalui dengan produktif layaknya mahasiswa. Suatu hari tiba-tiba sebuah berita sedikit mengejutkan tiba. Berita tentang kasus positif Corona.  Awalnya yang tersirat di pikiranku adalah “Ah, kasusnya di Jakarta. Kurasa tidak mungkin secepat itu menyebar hingga Semarang.” Tapi ternyata aku keliru, hari-hari selanjutnya ternyata berita tentang kasus baru tidak juga reda. Ada lagi. Ada saja. Satu  hal menyadarkanku, hand sanitizer dan masker medis benar-benar jadi barang langka. Hari itu pula, 15 Maret 2020, sebuah surat edaran beredar dari WA ke WA. Isinya tentang perkuliahan daring hingga Mei menjelang. Tidak kusangka bahkan berlanjut hingga sekarang. Itulah awal dari semuanya. Media ramai dengan tagar #dirumahaja. Tidak ada yang kulakukan saat itu selain segera memesan tiket kereta dan bergegas pulang esok harinya. Ya, sejak saat itu pula kami memulai masa perkuliahan tanpa tatap muka. Hingga hari ini, kami belum pernah lagi berjumpa.
      Bulan Maret hingga April benar-benar menjadi masa adaptasi. Tugas yang menumpuk, jaringan yang buruk, pikiran yang suntuk. Bukankah wajar jika kami sedikit berkeluh kesah? Saya hanya merasa tidak produktif sekali, di rumah saja berhari-hari. Tapi apakah keluh kesah menyelesaikan masalah? Tidak. Kalau kamu ingat di salah satu buku yang pernah kamu baca, “Jangan menyumpahi gelap, tapi segera nyalakan lilin.” (Garis Batas, hlm. 45)
        Selama #dirumahaja, agar lebih produktif, aku menantang diri dengan list buku untuk target baca. Tujuannya tentu saja agar waktuku tidak terbuang percuma. Aku menyadari  bahwa #dirumahaja adalah satu kontribusi kecil untuk memutus rantai penyebaran virus. Aku bukan miliarder yang bisa menyumbangkan dana berjuta-juta. Bukan pula tenaga kesehatan yang bisa bergabung di garda terdepan. Hal sederhana dengan #dirumahaja yang setidaknya bisa dilakukan untuk meringankan tugas mereka para tenaga kesehatan. Bosan memang, tapi wajar saja sebab kita semua masih beradaptasi dengan suasana. Mungkin ini saatnya menenangkan diri, menjauh dari hiruk pikuk kota dan peliknya kehidupan mahasiswa.  Mungkin pula ini saatnya untuk membabat habis buku-buku yang belum sempat dibaca. 

 Antimainstream Scholarship Destination-Belgia. Tentang perjuangan kuliah di luar negeri.
 Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, karya Marchella FP. Belajar menjadi manusia, ngga papa.
 Garis Batas, karya Agustinus Wibowo. Perjalanan di negeri-negeri Asia Tengah. Garis batas yang kita imajinerkan mengubah banyak hal.
 Ensiklopedia Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa, karya Krisna Bayu Adji.
 Gajah Mada edisi 1-5, karya Langit Kresna Hariadi. Jilid 1 saja belum kelar…
 Max Havelaar, karya Douwes Dekker alias Multatuli. Intrik masa kolonial di Banten.
 Dan seterunnya…

#3 #NantiKitaCeritaTentang2020
Mei-Juni: Pancarona (Warna-Warni di Balik Corona)
[pan.ca.ro.na] • Indonesia
kbbi (n . ) beraneka warna

          Ramadhan tahun ini sedikit berbeda.Tidak ada tarawih di musola. Tidak ada buka bersama. Semua serba #dirumahaja. Kau tanya bagaimana rasanya? Memang sedikit hampa. Tapi hikmahnya, ada lebih banyak waktu untuk beribadah dan berdoa.  Waktu yang berharga ini jangan sampai sia-sia. Saat ada kesempatan sesekali mencoba ikut lomba. Sesekali ikut  webinar yang penuh drama. Sesekali hunting foto alam lalu upload di social media. Sisanya sibuk mencoba resep baru dan buat kue untuk lebaran, dibuat dengan semangat, tidak tahu hendak diberikan pada siapa. Kalaupun nanti lebaran tidak ada tamu, ya buat saya saja. 
          Lebaran kali ini tidak seramai biasanya. Aku tidak pergi ke mana-mana. Silaturahmi beralih di social media. Ketika hendak menonton drama teringat tugas tentang Sriwijaya. Lebaranku kali ini penuh dengan THR (Tugas Hari Raya). Jangan tanyakan seberapa bosan. Tapi sebosan apapun harimu selama #dirumahaja, bersyukurlah kamu bisa pulang di rumah. Kamu masih bisa menyantap masakan ibu. Bandingkan dengan mereka yang tak bisa pulang karena tertahan di kota orang. Bandingkan dengan mereka yang melewatkan lebaran di ruang kesehatan. Bersyukurlah kamu sehat jiwa raga dan tentu saja bisa makan ketupat, pakai baju baru, dapat angpau lagi. Sebuah kebahagiaan kecil yang harus disyukuri. 

#4 #NantiKitaCeritaTentang2020
Juli-Agustus: Eccedentesiast
(n.) Someone who hides pain behind a smile.

Entah mengapa #dirumahaja membuat saya banyak merenung. Banyak pertanyaan yang bermunculan. Semacam Quarter Life Crisis, pertanyaan seputar hidup dan kehidupan terus bermunculan. Apakah jalan yang saya lalui ini sudah benar? Apakah saya akan berhasil? Apa yang saya kejar? Apakah saya sudah hidup sebagai manusia dengan benar? Apakah saya mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar? Apakah saya mampu melanjutkan impian saya ? Apakah saya bisa membahagiakan orang tua? Akankah saya bisa melalui semuanya? Bukankah pertanyaanku cukup banyak? In all the good times I find my self longing for change. And in the bad times I fear my self.
Tell me something, are you happy in this modern world? Or do yo need more? Rasa lelah, rasa jenuh, rasa bosan bukankah wajar kurasakan? Kadang perkuliahan terasa melelahkan. Saat itu pula kutemukan sebuah catatan yang kutulis di awal perkuliahan daring bulan Maret lalu.
Dialog Imajiner
Aku : “Aku lelah, banyak tugas, kuliah online. Satu belum selesai, muncul lagi yang lain. Bolak-balik WA, MS Word, WPS, Google Classroom, Google Meet, Zoom, Elena, Chrome, Sikadu. Setiap hari begitu terus.”
Saya : “Apa Kha? Lelah kuliah? Hehe memangnya kamu lupa?”
Aku : “Hah? Lupa?”
Saya : “Ehem. Mari bernostalgia. Dulu siapa yang mati-matian ingin kuliah? Siapa? Katanya ingin kuliah. Mendaftar ke sana ke mari, mengurus berkas ini itu. Sekarang sudah kuliah kok mengeluh terus? Lelah ya wajar.”
Aku : “Hmm.”
Saya : “Begini, ya, lelahmu saat kuliah belum seberapa dibandingkan dengan lelahnya orang yang banting tulang demi bisa kuliahin kamu. Sudahlah, perbanyak bersyukur, kurangi mengeluh. Kamu harusnya bersyukur banyak-banyak. Alhamdulillah bisa kuliah, sehat, dapat tugas, bisa pulang ke rumah, ada sarana buat kuliah di rumah. Alhamdulillah masih dikasih rasa lelah, tandanya aku masih hidup dan berproses. Coba bandingkan dengan orang lain. Temanmu mungkin yang nggak bisa kuliah karena biaya. Temanmu yang masih belum diterima kuliah di mana saja. Kursi yang kamu duduki sebagai mahasiswa adalah impian ribuan orang di luar sana yang mungkin tidak seberuntung kamu Atau mereka yang hari ini sedang sakit, berjuang melawan penyakit. Mereka yang tidak bisa pulang ke rumah. Mereka yang sekarang tidak punya pekerjaan karena PHK. Atau bahkan kamu perlu bandingkan dengan orang-orang yang sudah tidak diberi rasa lelah alias sudah meninggal?”

#5 #NantiKitaCeritaTentang2020
September-hingga hari ini: Suryakanta
[sur.ya.kan.ta] • Indonesia
kbbi (n.) Kaca bundar (untuk melihat suatu benda supaya kelihatan besar);
kaca pembesar; lensa.

Sepertinya saya sudah cukup banyak bercerita. Apakah kamu mengantuk saat membacanya? Pastikan di sampingmu ada teman baca. Entah seseorang atau sesuatu, biskuit kacang misalnya, agar kamu tidak terlalu bosan.

#Dirumahaja ternyata menyadarkan saya tentang banyak hal. Banyak hal yang saya lihat dengan lebih detail. Beberapa hal yang tampak lebih jelas. Beberapa hal yang selama ini mungkin tidak cukup kuperhatikan. Seperti sebuah suryakanta, kaca pembesar. Dua ribu dua puluh membawaku memandang lebih luas dari biasanya. 

 Pertama, kita manusia, bukan siapa-siapa. Hilangkan kesombongan di dada. Kita yang bukan siapa-siapa. Bahkan kalang kabut oleh makhluk mini tak kasat mata. Jangan lupa terus berdoa. Sebab bukan kita yang punya kuasa. Lelah manusiawi. Jenuh sudah pasti. Tapi hidup harus tetap berjalan lagi. Mengeluh tidak jadi solusi. Kehidupan yang terus berjalan ini hanya akan dimenangkan oleh mereka yang terus berjalan pula. 

   Kedua, sesuatu akan terasa berharga setelah tidak ada. Kebersamaan ternyata dirindukan. Bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman rupanya sebermakna itu. Kesehatan nyatanya tak kalah penting. Pandemi menyadarkanku bahwa kesehatan sangat berharga. Apalah arti  harta dan tahta jika tidak sehat jiwa dan raga. Pandemi ini nyatanya tidak pandang usia, tua, muda, kaya, tak punya. Orang sehat mempunyai seribu keinginan, tapi orang sakit hanya punya satu keinginan. Sebelum terlambat menyadarinya, jaga kesehatanmu, hubungi teman-temanmu dan keluargamu, nikmati saat-saat itu.

   Ketiga, hidup adalah tentang belajar. Belajar tak hanya seputar membaca buku, membuat artikel, atau meringkas cerita. Belajar jauh lebih luas dari itu semua. Selama aku di rumah saja ternyata banyak hal yang saya saksikan, yang saya dengar, dan saya ketahui. #Dirumahaja  banyak hal terjadi. Banyak hal yang aku lihat dengan lebih jelas. Tentang kehidupan sehari-hari yang selama ini tidak benar-benar diperhatikan. Sesekali kudengar ibu-ibu tetangga memarahi anaknya yang sulit diajari belajar. Sesekali kudengar adikku dimarahi ibu karena main terus. Sesekali kudengar ada saudara melahirkan. Selamat datang ke dunia fana ini, Nak. Sesekali kudengar para sepuh satu per satu kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Sesekali kudengar ada berita bahagia, entah teman, saudara, atau tetangga yang menyambut hari bahagia, memulai berumah tangga. Sesekali pula kudengar ada berita seseorang terbaring sakit karena usia. Ternyata banyak hal yang aku lewatkan selama ini.

Ternyata kehidupan orang dewasa itu kompleks sekali. Ada yang baru keluar dari tempat kerja. Ada yang kebingungan dengan skripsi yang tertunda. Ada yang semakin semangat bekerja, jualan ke mana-mana. Ada yang baru bertengkar dengan pasangannya. Ada yang baru saja meminang gadis pujaannya. Ohh jadi begitu yah hubungan dengan mertua. Ohh mendidik anak ternyata luar biasa. Kira-kira seperti itulah kata-kata yang sering saya gumamkan dalam hati. Semakin sadar bahwa hidup adalah pelajaran berharga. Hal-hal kecil yang sering saya lewatkan. Rupanya PR hidup saya masih cukup banyak. “Semakin kamu tenang, semakin kamu bisa mendengar.” (Rumi)
Keempat, beryukurlah. Setiap situasi yang membuatmu tidak nyaman pasti mempunyai makna. Even a dead clock shows correct time twice a day. Buka matamu. Banyak keindahan di sekelilingmu. Sesederhana menatap langit biru. Sesederhana melihat bunga yang mekar di halaman rumahmu.
Terima kasih, 2020. Tahun yang membawa banyak makna. Terima kasih diri, sudah bertahan sejauh ini. Semoga di masa depan ketika kamu membaca tulisan ini, kamu sudah jauh lebih dewasa bijaksana. Semoga tahun depan semua akan reda dan baik-baik saja. Disadari atau tidak, tahun ini mendewasakan kita semua. Dua ribu dua puluh, sebuah suryakanta.

⸻Terima kasih pula sudah berkenan membacanya hingga usai.

                            					Bumiayu, 8 November 2020

-Kanigara

Theme Song: Hyukoh-Tomboy