Kahlil Gibran : Sang Pujaan

Daftar Isi

Sang Pujaan
Dirundung Sunyi
Ditelan Nestapa
Harga Sejarah Sebuah Bangsa
Hewan-hewan
Iblis-iblis
Jagad Raya dan Isinya
Kecantikan yang Luar Biasa
Narasi
Demi Kesucian Sejati
Pesona Jiwa
Tangis dan Tawa
Terhina Karena Dunia


Penerjemah Ahmad Munawar
Lay-out Hendra
Pracetak Budi Hartanto
Cetakan Pertama Juni 2003

Penerbit TUGU
Nyutran MG II/1465-A Yogyakarta 55151 Indonesia
Telp. (0274) 413708
Fax. (0274) 413732

##Sang Pujaan

ialah yang disanjung-sanjung sampai gila.
Dialah pengkhayal yang menulis untuk menghancurkan moral kaum muda.
Andaikan kaum lelaki dan perempuan yang sudah beristeri/bersuami mengikuti pendapat-pendapat Gibran dalam hal perkawinan maka akan goyahlah sendi-sendi keluarga dan akan tesengal-sengallah dasar-dasar kehidupan masyarakat dan jadilah alam ini dan penduduknya semuanya sebagai syetan-syetan.

Waspadalah akan gaya tulisan Gibran yang indah memukau karena itu sebagian dari musuh-musuh kehidupan manusia.

Gibran adalah perusuh bagi atheis dan kita menasehati penduduk gunung yang diberkati agar mereka membuang ajaran-ajarannya dan membakar karangan-karangannya sehingga ajaran-ajaran dan karangan- karangannya itu tidak ada yang me- nempel dalam jiwa mereka.
Kita telah membaca karyanya “Sayap-sayap Patah” dan kita mene- mukan bahwa karyanya itu adalah racun dalam debu.


itulah sebagian yang dikatakan orang-orang tentang diriku dan mere• ka benar, karena aku suka berbuat berlebih-lebihan sampai gila, aku suka kehancuran namun aku suka mem- bangun, dan di dalam hatiku ada ke- bencian yang belum disucikan oleh orang-orang dan ada cinta yang belum luruskan oleh orang-orang, dan andaikan memungkinkan bagiku mempertemukan adat-istiadat, prinsip-prinsip utama dan kebiasaan-ke- biasaan manusia maka pastilah itu akan meragukan. Adapun sebagian manusia mengatakan bahwa tulisan-tulisanku adalah racun dalam debu. Pernyataan itu menjelaskan hakekat, dari balik cadar yang tebal, bahwa hakekat itu telanjang, murni, yang itu sesungguhnya aku tidak mencampurkan racun dalam debu tetapi aku memisahkannya dan mencerai-berai- kannya … Kecuali seorang budak yang menilai bahwa aku menuangkannya ke dalam gelas-gelas yang bersih lagi bening.

Adapun orang-orang yang menyanggah tentang aku di depan diri mereka, mereka berkata: Dia itu pengkhayal yang berenang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya di antara awan-awan yang hitam menuju kilat-kilat gelas-gelas yang bening lalu ia tinggalkan apa yang ada di dalam gelas itu berupa minuman yang mereka anggap sebagai racun karena lambung mereka yang lemah tidak mampu mencerna minuman itu.

Sesungguhnya keluguan ini menun- jukkan sikap tebal muka, akan tetapi bukankah tebal muka itu dengan se- gala kekasarannya itu lebih baik dari pada sikap khiyanat dengan segala kenikmatannya? Sesungguhnya tebal muka itu menampakkan dirinya dengan dirinya, adapun sikap khiyanat itu mengenakan pakaian yang bukan miliknya.


Kaum yang suka tertawa-tawa itu meminta Gibran untuk menjadi lebah yang terbang berputar-putar di taman-taman bunga mengumpulkan madu bunga untuk dijadikan sarang madu.
Kaum yang suka tertawa-tawa itu menyukai madu sementara mereka tidak bisa berbuat baik kecuali hanya makan saja. Dan madu hanya mencair di depan api dan tidak membeku kecuali bila diletakkan di atas es.

Kaum yang suka tertawa-tawa itu juga meminta Sang Penyair Gibran untuk membakar sendiri dupa di depan sultan-sultan mereka, hakim- hakim mereka dan kepala-kepala uskup mereka, sementara angkasa timur telah menjadi kusut disebabkan oleh asap dupa-dupa yang keluar membubung dari samping kamar pengantin, altar-altar dan kubur-kubur, akan tetapi mereka tidak merasa cukup. Di dalam hari-hari kami para pemuja itu tunduk kepada al-Mutanabbi, para pengagum menyerupakan dengan al- Khansak dan tukang-tukang jiplak itu lebih cantik dari Shafiyuddin al Halli. Kaum yang suka tertawa-tawa itu meminta orang 'alim untuk meneliti sejarah bapak-bapak dan kakek-kakek mereka, mendalami peninggalan-pe- ninggalan mereka, adat istiadat mere• ka dan kebiasaan mereka sambil meng- uraikan hari-hari dan malam-malam mereka di antara lipatan-lipatan ba- hasa mereka, runtutan kata-kata mereka dan keindahan bahasa mereka.

Dan orang-orang yang suka ter- tawa meminta pemikir untuk membi- asakan pendengaran mereka atas apa yang dikatakan oleh Baidaba’, Ibnu Rusyd, Afran al-Suryani dan Yuhna al-Damsyiqi dan untuk tidak melanggar dalam tulisannya batas-batas nasehat yang dungu dan petunjuk yang sakit serta apa yang muncul di antara keduanya berupa hukum dan ayat-ayat yang jika seseorang tidak berjalan di atasnya maka hidupnya seperti rumput-rumput kecil yang tumbuh di bawah bayang-bayang dan jiwanya seperti air hangat yang tercampur dengan sedikit candu.

Pendek kata kaum yang suka tertawa-tawa itu hidup dalam panggung- panggung sandiwara termpo dulu dan mereka cenderung kepada hal-hal sepele yang menghibur, yang membuat orang terkagum-kagum dan mereka membenci ajaran-ajaran kebaikan dan ajaran-ajaran terbaik yang menyilau- kan mereka dan mengagetkan mereka dari tidur mereka yang diselimuti oleh mimpi-mimpi yang meninabo- bokkan.


Sesungguhnya kaum yang suka tertawa-tawa itu sakit yang ditimpa penyakit dan secara berganti-ganti diserang wabah sehingga sakitnya itu menjadi kebiasaan, kepedihan terbentuk dan jadilah nasib dan kesakitan- nya itu nampak seperti sifat-sifat alamiyah abhkan seperti teman karib yang baik, yang menemani roh-roh suci dan jasad-jasad sehat, karena itu barang siapa yang tidak punya sifat- sifat yang sakit itu ia dianggap kurang waras lagi terlarang untuk memper- oleh hadiah-hadiah dan kesempurnaan yang mulia.

Tabib-tabib kaum yang suka tertawa itu banyak, mereka selalu berku- tat pada kesibukan mereka dan selalu bermusyawarah dalam urusan-urusan mereka, akan tetapi mereka tidak mau mengoabti dengan selain candu-candu, bius-bius waktu yang memperpanjang masa sakit sehingga tidak tersembuhkan.

Adapun bius-bius maknawi itu banyak sekali macamnya, beragam bentuknya dan warna-warnanya. Dan sebagian bius-bius maknawi itu terlahir dari sebagian bius-bius maknawi yang lain sama seperti bergilirnya penyakit-pemyakit dan orang-orang sakit, sebagian menggantikan sebagian yang lain. Dan setiap kali di kalangan kaum yang suka tertawa-tawa itu muncul orang sakit baru maka tabib-tabib kaum yang suka tertawa itu memberi untuk si sakit yang baru itu bius-bius baru.

Adapun sebab-sebab yang dapat memperlambat terwujudnya bius-bius baru itu adalah banyak jumlahnya, yang pokok adalah menyerahkan si sakit itu kepada falsafah alam raya dan qadar, kepada lemahnya hati tabib-tabib dan ketakutan mereka yang membangkitkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh obat-obat yang mujarab.

Dan kepada kalian kami tunjuk- kan sebagian bius-bius itu dan pe- nenang-penenang itu yang dijadikan oleh tabib-tabib kaum yang suka ter• tawa-tawa untuk merawat orang-orang sakit yang mengeluarga, yang menegara dan yang mengagama:

Suami lari dan isterinya, perempuan lari dari kekasihnya karena adanya sebab-sebab yang mendasar karena itu mereka saling memusuhi, saling memukul dan aling menjauhi, akan tetapi itu tidak berlangsung lebih dari sehari semalam sampai keluarga suami dan keluarga isteri berkum- pul dan bertukar pikiran yang diperindah dengan ucapan-ucapan dan kata-kata manis kemudian mereka bersepakat untuk mendamaikan pasangan suami-isteri itu, lalu mereka mendatangi isteri itu merayunya untuk meluluhkan emosinya dengan nasehat-nasehat gombal yang membingungkannya dan tidak memuaskannya, kemudian mereka memanggil si suami itu dan membanjiri kepalanya dengan pendapat-pendapat dan perumpamaan-perumpaan yang dipoles dengan hal-hal indah yang bisa melunakkan pikirannya tetapi tetap tidak bisa merubahnya. Dan demikianlah terbentuknya perdamaian — perdamaian sementara— di antara pasangan suami isteri yang berselisih itu yang karena ikatan batin berusa- ha mencapai keinginan mereka beru- pa ketentraman di bawah satu atap dengan sekuat tenaga sampai luapan emosi itu menjadi tenang dan hilang- lah pengaruh bius itu yang telah dipergunakan oleh keluarga dan han- dai taolan itu, namun itu tidak akan berlangsung lama karena suami itu akan menampakkan kembali rasa permusuhannya dan kebenciannya dan begitu pula si isteri itu akan kembali menghilangkan kain cadar kemarahannya. Hal yang bisa dilaku- kan oleh orang-orang yang ingin mewujudkan perdamaian antara pasanag suami isteri itu, adalah menjadikan perdamaian itu sebagai yang kedua.

Barang siapa memandang baik untuk meneguk bius-bius maka dia tidak akan sudi meminum gelas yang berisi air biasa. Suatu kaum mengangkangi pemerintahan yang berkuasa atau mengangkangi suatu tata aturan lama, lalu membuat kelompok pembaharu yang mengajak kepada pembaharuan dan kebebasan, karena itu mereka berkhutbah dengan gagah berani, menulis selebaran-selebaran, menyebarkan maklumat-maklumat, rencana-rencana kerja dan mengangkat wakil yang ideal, akan tetapi itu tidak akan berlangsung lebih sebulan atau dua bulan samapai akhirnya kita mendengar bahwa pemerintah telah memenjarakan ketua kelompok pem• baharu itu atau menjanjikan untuknya suatu kedudukan. Adapun kelomok pembaharuan itu tidak terdengar lagi kabar beritanya karena orang-orangnya telah meneguk sedikit bius-bius itu dan mereka kembali kepada ketenangan dan kepasrahan diri.

Suatu kelompok umat agama bersikap angkuh kepada pemimpin agamanya dikarenakan adanya hal-hal yang mendasar, karena itu umat mengkritik kepribadiannya, menyanggah perbuatan-perbuatannya dan jemu dengan apa-apa yang datang darinya.kemudian mereka mengger- taknya dengan mendrikan aliran yang lain yanglebih dekat kepada akal dan jauh dari hal-hal yang meragukan dan khurafat-khurafat. Akan tetapi itu tidak berlangsung lama sampai akhirnya kita mendengar bahwa kaum rasion- alis negeri itu telah menghilangkan perbedaan antara pemimpin dan umatnya dan berkat bius-bius yang menyihir mereka telah mengembalikan citra pemimpin agama itu dan ketaatan buta kepada jiwa-jiwa yang suka sok lagi durhaka!

Orang yang kalah dan lemah mengadukan kelaliman orang dhalim yang kuat, lalu tetangganya berkata kepadanya: Diamlah karena mata yang melawan anak panah dengan sembarangan pasti akan terjungkal.

Orang desa meragukan akan ke- takwaan dan ketulusan hati para rahib, lalu temannya berkata kepadanya: Diamlah karena telah tertulis dalam al-kitab: Dengarkanlah ucapan- ucapan para rahib itu dan janganlah kamu melakukan perbuatan-perbuatan mereka.

Seorang murid menentang penetapan atas penelitian orang-orang Basrah dan Kuffah dalambidang ba- hasa, lalu gurunya berkata kepadanya: Seungguhnya orang-orang pemalas dan yang suka berlambat-lambat itu mereka suka mereka-reka alasan untuk diri mereka dengan yang lebih buruk dari dosa.

Seorang anak kecil tidak mau mengikuti adat kebiasaan orang-orang tua, lalu ibunya berkata kepadanya:

Anak itu tidak lebih utama dari pada ibunya karena itu jalan yang ditempuhnya harus kamu tempuh pula.

Seorang pemuda mempertanyakan makna-makna batasan-batasan agama, lalu seorang dukun berkata kepadanya: Barang siapa yang tidak melihat dengan kaca mata iman maka ia tidak akan melihat alam ini kecuali kabut putih dan asap.

Dan demikianlah waktu terus berjalan sepanjang masa dan kaum yang suka tertawa-tawa itu berbaring di atas kasurnya yang empuk, mereka bangun sesaat ketika dikejutkan oleh nyamuk kemudian ia kembali terlelap karena pengaruh bius-bius yang telah menyatu dalam darahnya dan mengalir dalam keringatnya, karena itu jika seseorang yang terkena bius itu bangun, maka ia akan meneriaki orang-orang yang tidur, memenuhi rumah-rumah mereka, tempat-tempat ibadah mereka dan tempat persidangan mereka dengan suara-suara ribut. Dan mereka membuka sayap-sayap mereka dengan rasa mengantuk yang abadi kemudian mereka berkata sambil menguap: Betapa mengesalkannya seorang pemuda yang tidur dan tidak membiarkan orang-orang tidur! Kemudian mereka menutup mata mereka dan membisikkan ke dalam telinga roh-roh mereka: Pemuda itu kafir lagi atheis, merusak moral kawula muda, merobohkan bangunan generasi bangsa-bangsa dan menusuk umat manusia dengan panah beracun.

Beberapa kali aku bertanya kepada diriku apakah jika aku menjadi salah satu dari orang-orang yang terjaga, yang bersikap sewenang-wenang terhadap orang-orang yang menolak meminum bius-bius dan penenang, maka diriku akan memberi jawaban kepadaku dengan kata-kata yang tidak jelas.

Akan tetapi aku belum pernah mendengar orang-orang meng- kafirkan namaku dan mengatakan cih atas prinsip-prinsip dasarku yang aku yakini dengan sepenuh kesadaranku dan aku tahu bahwa aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyerahkan diri kepada mimpi-mimpi indah dan khayalan-khayalan yang menyenangkan, bahkan aku bukanlah termasuk orang-orang yang suka menyendiri —bersikap eksklusive— dengan kehidupan yang membuat mereka berjalan di atas jalan-jalan sempit yang ditanami duri-duri dan bunga-bunga lagi dikelilingi serigala buas dan burung-burung bulbul yang selalu berkicau.

Dan andaikan kesadaran itu se- buah anugerah maka kekuatanku akan melarangku untuk menuntut memilkinya, aka tetapi anugerah itu bukanlah anugerah melainkan hakekat asing yang nampak di depan kehampaan orang-orang yang takut sendirian dan berjalan di depan mereka.

Kemudian mereka mengikutinya dan menuruti keinginan mereka yang tertarik oleh kawat-kawat mereka yang tersembunyi dan mereka berpu- tar-putar menuju maknanya yang melenceng.
Dan bagiku, bahwasannya tidak mau menerima atas munculnya kenyataan-kenyataan pribadi adalah semacam sikap angkuh yang tak terlihat yang di kalangan kaum yang suka tertawa-tawa dikenal dengan sebutan tahdzib —mendidik.


Besok para sastrawan dan sekaligus para pemikir akan membaca apa yang telah ada lebih dulu, lalu kaum yang suka berkeluh kesah berkata: Sastrawan itu adalah orang yang tersisihkan yang melihat kehidupan dari sisi yang gelapnya saja, karena itu mereka tidak melihat kecuali kegelap- an saja, dan pasti mereka berdiri di antara kita memanggil-manggil, menangisi kita sambil mentertawai keadaan kita.

Karena itu untuk para sastrawan sekaligus para pemikir itu aku akan berkata: Aku akan memuji-muji kaum yang suka tertawa-tawa, karena me- nari-nari di depan usungan mayat itu adalah kegilaan yang bermartabat lagi benar.

Aku menangisi kaum yang suka tertawa-tawa karena tertawa atas orang- orang yang sakit itu adalah kedunguan yang berlipat-lipat.

Aku meratapi negeri tercinta, karena bernyanyi di depan orang yang tertimpa musibah itu adalah ketololan yang buta.

Aku berlebihan dan tersingkirkan karena aku orang yang menegakkan cahaya kebenaran yang itu menjelaskan separo kebenaran dan menyisakan separo kebenaran yang lain dalam keadaan tertutupi di balik ketakutannya akan prasangka-prasangka orang- orang dan ocehan-ocehan mereka.

Aku melihat rongga yang merintih kesakitan, karena itu jiwaku gemetaran, isi perutku terasa mual dan aku tidak bisa duduk di depannya, sedangkan di sebelah kananku ada segelas minuman lezat, dan disebelah kiriku ada sepotong manisan harum.

Dan andaikan ada orang yang ingin mengganti ratapanku dengan tertawa, merubah rasa gemetaranku menjadi keteguhan hati, dan menggantikan ketersisihanku dengan keadilan maka orang itu hams menjadikan aku di antara orang-orang yang tertawa itu sebagai hakim yang adil, ahli syari’at yang bertanggung jawab, menjadikan aku sebagai pemimpin agama yang berbuat dengan apa yang ia ketahui dan menjadikan aku sebagai suami yang bisa memandang isterinya dengan mata yang dengan mata itu ia bisa melihat dirinya.

Jika di sana ada orang ingin menyaksikan aku menari, mendengarkan aku memukul kendang dan meniup seruling maka orang itu harus mengundang aku ke rumah pengantin lelaki dan bukannya membuatku berdiri di antara kubur-kubur sunyi.***

Dirundung Sunyi

Wahai teman sebayaku, jika engkau mengingat awal masa mudamu dengan kegembiraan dan menyesalinya karena ia telah berlalu. Namun aku mengingatnya seperti seorang narapidana yang dipanggil kembali oleh jeruji dan belenggu penjaranya. Engkau menganggap tahun-tahun antara masa kecil dan masa muda sebagai masa kejayaan yang bebas dari kurungan dan kesusahan. Namun aku menyebut tahun-tahun tersebut sebagai kesunyian yang menyedihkan yang jatuh seperti benih yang masuk dan tumbuh di hatiku dan tidak dapat menemukan jalan keluar menuju dunia pengetahuan dan kebijaksanaan. Sampai akhirnya cinta hadir dan membuka pintu hatiku dan menyinari sudut-sudutnya. Cinta memberiku sebuah lidah dan air mata. Orang-orang meng- ingat kebun-kebun, anggrek-anggrek, tempat-tempat pertemuan, pojok-pojok jalanan yang menyaksikan permainanmu dan mendengarkan bisikanmu yang lugu.

Aku juga mengingat tentang sebuah tempat yang indah di Lebanon Utara. Tiap kali kututup mataku, aku melihat lembah-lembah itu penuh dengan sihir dan ambisi, gunung-gunung yang tertutup oleh kemuliaan dan kebesaran itu berusaha untuk meraih langit.

Tiap kali aku menutup telingaku dari kebisingan kota, aku mendengar gemericik air sungai dan gemerisik dahan-dahan. Semua keindahan-keindahan itu - yang kubicarakan sekarang dan kuamati seperti seorang anak kecil yang terpisah dari susu ibunya - melukai jiwaku. la memenjarakanku dalam kegelapan masa muda seperti seekor burung elang yang ada di dalam sangkar ketika ia melihat kawanan burung ter- bang bebas di langit yang luas. Lembah-lembah dan bukit-bukit itu mem- bakar imajinasiku namun pikiran-pikiran pahit menghalangi hatiku dengan jaring tanpa harapan.

Tiap kali aku pergi ke ladang, tiap itu pula aku kembali dengan kecewa tanpa mengerti apa yang memicu kekecewaanku. Tiap kali aku memandangi langit yang kelabu aku merasa hatiku menciut. Tiap kali aku mendengar nyanyian burung dan celoteh musim semi aku terluka tanpa mengerti penyebab penderitaanku. Orang bilang, bahwa pengalaman membuat seseorang kosong dan kekosongan membuatnya tanpa beban. Mungkin itu benar bagi orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan meninggal dan orang-orang yang hidup seperti mayat yang dingin. Tapi seorang pemuda sensitif itu lebih banyak merasa dan sedikit mengetahui. la merupakan makhluk paling sial yang ada di bawah matahari. Karena ia dikoyak oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkat dan menunjukkanmu keindahan hidup melalui awan mimpi-mimpi. Sementara kekuatan kedua akaa menjatuhkanmu ke dalam bumi, memenuhi matamu dengan debu dan menyergapmu dengan ketakutan dan kegelapan.

Kesunyian itu memiliki kelembutan dan tangan-tangan sutera. Namun dengan jari-jari yang kuat ia menggenggam hati itu dan membuatnya sakit dengan kesepian. Kesunyian ada- lah teman kesepian sebagaimana sa- habat kegembiraan spiritual.

Jiwa pemuda yang mengalami kesepian seperti Lili putih yang tak terangkai. la bergetar di hadapan angin sepoi-sepoi yang berhembus, terbuka hatinya di siang hari dan mengatup kembali daun-daunnya saat bayangan malam datang. Jika pemuda ini tidak memiliki hiburan, sahabat atau teman dalam permainannya maka hidupnya akan seperti penjara yang sempit. Di sana tidak ada yang dapat dilihatnya kecuali sarang laba-laba. la tak akan mendengar apa pun kecuali rayapan serangga-serangga.

Kesepian yang membuatku terob- sesi selama masa mudaku bukan disebabkan oleh kekurangan hiburan, karena aku menikmatinya. Bukan juga diakibatkan oleh kekurangan teman, karena aku telah menemukannya. Namun kesepian itu disebabkan oleh

sebuah penyakit batin yang ringan yang membuatku mencintai kesunyian. la membunuh kesenanganku pada permainan dan hiburan. la memindahkan sayap masa mudaku dari bahuku. la membuatku seperti satu pon air di antara gunung-gunung yang dalam permukaan tenangnya yang menampakkan bayang-bayang hantu dan warna-warna awan-awan dan pohon-pohon. Namun aku tak bisa menemukan sebuah jalan keluar untuk menuju samudera.

Itulah kehidupanku sebelum aku berusia delapan belas tahun. Tahun tersebut seperti puncak gunung dalam hidupku. Karena ia membangunkan pengetahuan tentang diriku dan membuatku mengerti tentang perubahan manusia. Di tahun tersebut aku dila- hirkan kembali dan jika seseorang tidak dilahirkan lagi maka sisa hidupnya akan seperti lembaran kosong dalam buku kehidupan.

Di tahun tersebut aku melihat malaikat-malaikat surga memandangku melalui sepasang mata seorang perempuan cantik. Aku juga melihat setan-setan dari neraka mengamuk dalam hati seorang manusia jahat, yang tidak melihat malaikat-malaikat dan setan-setan dalam kecantikan dan kebencian hidup yang akan jauh bergeser dari pengetahuan. Dan semangatnya akan jauh dari kasih sayang.***

Ditelan Nestapa

Suatu hari Farris Effandi mengundangku makan malam di rumahnya. Aku memenuhinya. Jiwaku lapar akan roti lezat yang disuguhkan surga melalui tangan-tangan Selma. Roti spiritual yang membuat hati kami semakin lapar saat menyantapnya. Itulah roti yang dinikmati oleh Kais (seorang pujagga Arab), Dante dan Sappho dan yang menyalakan api di hati mereka.

Roti yang disiapkan seorang dewi dengan manisnya ciuman dan pahitnya air mata.
Saat aku sampai di rumah Farris Effandi, aku melihat Selma sedang duduk di bangku di kebun. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah pohon dan tampak seperti seorang mem- pelai dalam gaun sutera putihnya atau seperti seorang pengawal yang menjaga tempat itu.

Dengan tenang dan sopan, aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Karena aku tak dapat mengucap sepatah kata pun maka aku berusaha diam, satu-satunya bahasa hati. Namun aku merasa bahwa Selma mendengar suara tanpa kataku dan melihat hantu-hantu jiwaku melalui sepasang mataku.

Beberapa menit kemudian laki- laki tua itu datang menyapaku seperti biasa. Ketika mengulurkan tangan padaku, aku merasa seolah ia sedang memberkahi rahasia-rahasia yang menyatukanku dengan puterinya. Kemudian ia berkata:

“Makan malam sudah siap anak-anakku, mari kita bersantap.”

Kami beranjak mengikutinya. Sepasang mata Selma berkerjap-kerjap karena sebuah perasaan baru menambah kecintaannya ketika ayahnya memanggil kami dengan sebutan anak-anaknya.

Kami duduk di meja menikmati makanan dan meminum anggur lezat. Namun jiwa kami sedang berkelana di sebuah dunia yang jauh. Kami melamunkan masa depan dan kesulitannya.

Tiga orang yang terpisah dalam pikiran namun menyaru dalam cinta. Tiga manusia lugu yang memiliki banyak perasaan dan sedikit pengetahuan. Sebuah drama yang ditampilkan oleh seorang laki-laki tua yang mencintai puterinya, seorang perempuan muda sekitar dua puluh tahunan

yang memandang masa depan dengan gelisah dan seorang laki-laki muda yang melamun dan khawatir. Pemuda yang tidak merasakan anggur kehidupan maupun cukanya dan berusaha menggapai agungnya cinta dan pengetahuan, namun tidak dapat mengangkat dirinya. Kami berti- ga duduk dalam suasana temaram makan dan minum dalam rumah yang terpencil itu, diawasi sepasang mata surga namun bagian atas gelas kami tertutup kepahitan dan kesedihan.

Ketika kami selesai makan, salah seorang pelayan memberitahukan kedatangan seorang laki-laki yang ingin bertemu dengannya.

“Siapa ia?” tanya laki-laki tua itu.

“Utusan pendeta,” jawab pelayan itu.

Sejenak Farris Effandi terdiam memandang puteri- nya seperti seorang nabi yang memandang langit untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Kemudian ia berkata pada pelayan tesebut

“Persila- kan ia masuk.”

Ketika pelayan itu berlalu, seorang laki-laki memakai pakaian ala Timur dengan kumis lebat yang ujungnya dipilin masuk dan memberi salam pada laki-laki tua itu seraya berkata:

“Yang mulia, pendeta mengutusku untuk menjemputmu dengan kereta khususnya. Beliau ingin membicarakan masalah penting dengan anda.”

Wajah laki-laki tua itu tampak sedih dan senyumnya tak tampak. Sesaat setelah memikirkan dengan seksama, ia mendekatiku dan berkata dengan suara yang bersahabat:

“Aku harap saat aku kembali nanti engkau masih ada di sini karena Selma membutuh- kan teman di tempat yang terpencil ini.”

Setelah mengatakannya ia menoleh ke arah Selma dan tersenyum, menanyakan persetujuannya. Ia menganggukkan kepalanya kendati pipinya menjadi merah. Dan dengan suara yang lebih manis dari musik liris, Selma berkata:

“Aku akan melakukan apa saja untuk membuat tamu kita senang.”

Selma memandangi kereta yang membawa ayahnya dan utusan pendeta hingga ia tak terlihat. Kemudian ia datang dan duduk di hadapanku di sebuah dipan yang dibalut dengan sutera hijau. Ia tampak seperti setangkai Lili yang merunduk dl hamparan rumput hijau karena desiran angin pagi hari. Inilah takdir surga yang mngharuskanku berdua bersama Selma di malam hari dalam rumahnya yang indah yang dikelilingi pohon-pohon di mana kesunyian, cinta, keindahan dan kebajikan tinggal bersama.

Kami berdua terdiam, saling menunggu siapa yang akan berbicara namun pembicaraan tidak selalu berarti pemahaman antara dua jiwa. Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama.

Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut. Keheningan menyelimuti jiwa- jiwa kami, berbisik pada hati-hati kami dan membawa keduanya bersama. Kesunyian memisahkan kami dari diri kami masing-masing, membuat kita menjelajahi cakrawala jiwa dan membawa kami lebih dekat pada langit. Hal itu membuat kami merasa bahwa tubuh-tubuh ini tak lebih hanyalah penjara-penjara dan dunia ini tak lebih dari tempat pembuangan.

Selma menatapku, sepasang matanya mengungkapkan rahasia hatinya. Kemudian ia berkata dengan tenang:

“Mari kita ke kebun dan duduk di bawah pepohonan memandang bulan terbit dari balik pegunungan.”

Dengan patuh, aku beranjak dari tempat dudukku, namun aku ragu.

“Tidakkah lebih baik kita di sini hingga bulan terbit dan menyinari kebun.”

Dan aku melanjutkan:

“Kegelapan menyembunyikan pohon-pohon dan bebungaan. Kita tidak bisa melihat apa pun.”

Kemudian ia berkata:

“Sekalipun kegelapan menyembunyikan pohon- pohon dan bebungaan dari mata kita, namun ia tidak akan menyembunyikan cinta dari hati kita.”

Setelah mengatakan kata-kata itu dengan nada aneh ia mengarahkan pandangan matanya ke luar jendela dan aku tetap diam, mempertimbangkan kata-kata dan kebenaran arti tiap suku katanya. Kemudian ia memandangku seolah ia menyesali apa yang ia katakan dan berusaha menyingkirkan kata-kata itu dari telingaku dengan sihir matanya. Namun mata itu malah membuat aku lupa atas apa yang ia katakan dengan terulang melaui relung hatiku dengan jelas dan baik. Kata-kata manis yang telah terkubur dalam kenanganku karena keabadian.

Tiap kecantikan dan keagungan di dunia ini diciptakan oleh satu ide atau perasaan seorang manusia. Apa pun yang kita saksikan saat ini dibuat oleh generasi yang lalu. la berasal dari ide yang ada di pikiran seorang laki- laki atau luapan perasaan dari hati seorang perempuan. Revolusi yang menumpahkan banyah darah dan menggerakkan pikiran-pikiran laki-laki ke arah kemerdekaan merupakan ide seorang laki-laki yang ada di tengah ribuan laki-laki lainnya. Perang-perang yang menghancurkan yang merusak kekaisaran-kekaisaran adalah pikiran-pikiran yang ada dalam akal seseorang. Ajaran-ajaran tinggi yang merubah tujuan manusia adalah ide seorang laki-laki yang memiliki kecerdasan yang terpisah dari lingkungannya. Sebuah ide mandiri mampu mendirikan piramid-piramid, menciptakan kejayaan Islam dan memajukan perpustakaan di Aleksandria.

Satu ide akan datang padamu di suatu malam yang akan mengangkatmu pada kejayaan atau membimbingmu ke tempat suaka. Sebuah pandangan dari mata seorang wanita membuatmu menjadi laki-laki paling bahagia di dunia. Satu kata dari sepasang bibir seorang laki-laki akan membuatmu menjadi kaya atau miskin.

Kata-kata yang diutarakan Selma malam itu menahanku antara masa lalu dan masa depan, seperti sebuah perahu yang dilabuhkan di tengan samudera. Kata tersebut membangunkanku dari tidur masa muda dan kekhawatiran. la menempatkanku di panggung tempat hidup dan mati menempatkan bagiua-bagiannya.

Aroma bunga bercampur dengan angin sepoi-sepoi ketika kami memasuki kebun itu dan duduk dengan tenang di sebuah bangku dekat pohon Melati seraya mendengar tarikan nafas alam yang sedang tidur. Sementara di langit biru sepasang mata langit menyaksikan drama kami.

Bulan terbit dari balik gunung Sunnin dan menyinari pantai, bukit- bukit dan gunung-gunung. Kami dapat melihat desa-desa mengelilingi lembah seperti hantu-hantu. Kami dapat menyaksikan seluruh keindahan Lebanon di bawah sinar-sinar pe- rak rembulan.

Para penyair Barat mengira Lebanon sebagai sebuah tempat yang legendaris, yang terlupakan sejak Daud, Sulaiman dan nabi-nabi seperti taman Eden yang hilang sejak kejatuhan Adam dan Eva. Oleh para penyair Barat, kata Lebanon dianggap sebagai ekspresi puitis yang dihubungkan dengan gunung-gunung yang sisi-sisinya dibasahi dengan kemenyan Cedar yang suci.

Hal itu mengingatkan mereka pada kuil-kuil tembaga dan marmer yang berdiri kokoh dan tak terkalahkan, dan dari kawanan musang yang mencari makan di lembah-lembah. malam itu kulihat Lebanon bermimpi tidak seperti apa yang digambarkan seorang penyair.

Demikianlah segala sesuatu berubah sesuai dengan perasaan, begitu juga kita yang melihat ketakjuban dan kecantikan di dalamnya sementara ketakjuban dan kecantikan itu ada dalam diri kita sendiri.

Karena sinar bulan itu menyinari wajah, leher dan kedua lengannya ia tampak seperti sebuah patung gading yang dipahat oleh jari-jari beberapa pemuja Ishtar, dewi kecantikan dan cinta. Ketika ia memandangku ia ber- kata:

“Mengapa engkau diam? Mengapa engkau tidak bercerita padaku tentang masa lalumu?”

Saat aku memandangnya kebisuanku lenyap dan aku membuka sepasang bibirku dan berkata:

“Tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan ketika kita masuk ke kebun buah-buahan ini? Jiwa yang mendengar bisikan bunga- bunga dan nyanyian keheningan dapat pula mendengar jeritan dan teriakan hatiku.”

la menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan berkata dengan suara yang bergetar:

“Ya, aku mendengarmu. Aku mendengar sebuah suara yang datang dari tengah malam dan teriakan yang keras di tengah hari.”

Aku melupakan masa laluku, keadaanku -semuanya, kecuali Selma dan menjawabnya dengan perkataan:

“Aku mendengarmu juga Selma. Aku mendengar musik yang menggembirakan menggetarkan udara dan seluruh dunia.”

Setelah mendengar kata-kata itu, ia memejamkan matanya dan di kedua bibirnya kulihat senyum kegem- biraan bercampur dengan kesedihan. la berbisik dengan lembut:

“Sekarang aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari samudera dan lebih aneh dari hidup, mati dan waktu. Sekarang aku tahu sesuatu yang tak aku ketahui sebelumnya.”

Saat itu Selma menjadi lebih sayang dari seorang teman, lebih dekat dari seorang saudara dan lebih cinta dari seorang kekasih. la menjadi pikiran tertinggi, mimpi terindah dan perasaaan terkuat yang ada di jiwaku.

Sungguh salah jika mengira bahwa cinta berasal dari persahabatan yang lama dan teguhnya masa perke- nalan. Cinta adalah musim semi yang sial dari perasaan jiwa dan jika perasaan itu tercipta sesaat, ia tidak akan mampu bertahan selama bertahun-tahun bahkan sampai beberapa generasi.

Lalu Selma mengangkat kepala- nya dan memandang cakrawala tempat gunung Sunnin bertemu dengan langit, dan ia berkata:

“Kemarin engkau seperti seorang saudara bagiku, bersamanya aku tinggal dan di sisi- nya aku duduk dengan tenang di bawah asuhan ayahku. Sekarang aku merasakan adanya sesuatu yang lebih aneh dan lebih manis dari seke- dar kasih sayang seorang saudara, percampuran yang tak kukenal antara cinta dan takut yang memenuhi hatiku dengan kesedihan dan keba- hagiaan.”

Aku menanggapi:

“Perasaan yang membuat kita takut dan gemetar ketika melintas melalui hati kita merupakan hukum alam yang membimbing bulan mengelilingi bumi dan matahari mengelilingi Tuhan.”

Ia meletakkan tangannya di kepalaku dan mengusapkan jari-jarinya di rambutku. Wajahnya bercahaya dan air mata keluar dari kedua matanya seperti jatuhnya embun dari daun- daun Lili, kemudian ia berkata:

“Siapa yang akan percaya dengan cerita kita? Siapa yang akan percaya bahwa saat ini kita telah mengatasi rintangan-rintangan keraguan? Siapa yang akan percaya bahwa bulan Nisan yang menyatukan kita adalah bulan yang menghentikan kita dalam kesucian dari kesucian-kesucian hidup?”

Tangannya masih mengusap- usap kepalaku saat ia berbicara, dan aku tidak akan memilih sebuah mahkota raja atau rangkaian kejayaan dari tangan yang cantik dan halus itu yang memiliki jari-jari yang diusapkan di rambutku.

Kemudian aku menjawabnya:

“Orang-orang tidak akan percaya dengan cerita kita karena mereka tidak tahu bahwa cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan semer bak tanpa mempedulikan musim, kecuali bulan Nisan yang mempertemukan kita untuk pertama kalinya dan waktu yang menahan kita dalam kesucian di antara kasucian-kesucian hidup. Bukankah tangan Tuhan mendekatkan jiwa kita sebelum kita lahir dan membuat penjara-penjara bagi masing-masing sepanjang siang dan malam? Kehidupan seorang manusia tidak dimulai dari rahim dan tidak diakhiri dengan kuburan; cakrawala yang penuh dengan cahaya bulan dan bintang-bintang tidak akan ditinggal- kan oleh jiwa-jiwa cinta dan ruh-ruh intuitif.”

Saat ia menjauhkan tangannya dari kepalaku aku merasakan getaran listrik pada akar-akar rambutku bercampur dengan angin malam. Seperti seorang pemuja setia yang menerima berkahnya dengan mencium altar di sebuah kuil. Aku meraih tangan Selma dan meletakkannya di kedua bibirku yang hangat di atasnya dan memberinya ciuman panjang. Kenangan yang meluluhkan hatiku dan membangunkan keindahan- keindahanya dengan semua kebajikan jiwaku.

Satu jam berlalu, tiap menitnya adalah tahun cinta. Kesunyian malam, cahaya bulan, bunga-bunga dan pohon-pohon membuat kami lupa akan semua kenyataan kecuali cinta. Tiba-tiba kami mendengar derap lang- kah kuda dan gemeretak roda kereta. Kami tersadar dari kebahagiaan kami yang tak sadar dan melemparkan dunia mimpi-mimpi ke dunia yang penuh dengan kebingungan dan kesengsaraan. Kami mendapati laki-laki tua itu telah kembali dari tugasnya. Kami bangkit dan berjalan melalui kebun buah-buahan itu untuk menemuinya.

Ketika kereta itu sampai di pintu masuk kebun, Farris Effandi turun dan berjalan dengan pelan lurus ke arah kami dalam keadaan lunglai. Sekilas, ia tampak sedang membawa beban yang berat. Ia mendekati Selma, meletakkan tangannya di kedua bahunya dan memandanginya. Air mata membasahi kedua pipinya yang keriput dan kedua bibirnya bergetar dengan senyum kesedihan. Dengan suara tercekik, ia berkata:

“Sayang, tak lama lagi engkau akan dibawa jauh dari rengkuhan ayahmu dan memasuki rengkuhan orang lain. Sebentar lagi pendeta akan membawamu dari rumah yang sepi ini menuju istana di dunia yang luas. Kebun ini akan merindukan jejak langkahmu dan ayahmu akan menjadi orang asing bagimu. Semua telah terjadi. Semoga Tuhan memberkatimu.”

Setelah mendengar kata-kata tersebut, wajah Selma sedih dan sepasang matanya sayu seolah ia merasakan sebuah tanda kematian. Kemudian ia ketakutan, seperti seekor burung yang tertembak, menderita dan cemas dan dalam suara tertahannya ia berkata:

“Apa yang engkau katakan? Apa maksudnya? Kemana engkau akan mengirimku?”

Kemudian ia memandangnya dengan menyelidik, berusaha untuk menyingkap rahasianya. sesaat kemudian ia berkata:

“Aku mengerti. Aku mengerti semuanya. Pendeta telah memintaku dari sisimu dan telah me- nyiapkan sebuah sangkar burung dengan sayap-sayap yang patah. Inikah keinginanmu, Ayah?”

Jawabannya adalah sebuah desahan nafas panjang. Dengan halus ia membimbing Selma memasuki rumah sementara aku masih berdiri di kebun. Riak-riak kebingungan menyelimutiku seperti sebuah badai yang menggugurkan daun-daun musim gugur. Kemudian aku mengikuti mereka memasuki ruang tamu untuk menghindari hal-hal yang memalukan, yang menggoncangkan tangan laki-laki tua itu dan memandangi Selma bintang cantikku dan meninggalkan rumah.

Ketika aku sampai di ujung kebun aku mendengar laki-laki tua itu memanggilku dan meminta untuk menemuinya. Dengan menyesal ia meraih tanganku dan berkata:

“Maafkan aku, Anakku. Aku telah merusak malammu dengan tetesan air mata, tapi temui aku saat rumahku diting- galkan dan aku kesepian dan putus asa. Wahai pemuda, anakku sayang! Janganlah engkau mencampur-adukkan masalah yang terjadi di pagi hari dengan keadaan yang lemah. Karena pagi hari tidak akan bertemu dengan malam. Namun engkau akan datang padaku dan mengingatkanku pada kenanganku tentang masa mudaku yang aku lewatkan bersama ayahmu. Engkau akan mengabariku tentang kabar-kabar kehidupan yang tidak akan menganggapku sebagai salah satu anaknya lagi. Apakah engkau tidak akan mengunjungiku lagi ketika Selma pergi dan aku di sini dalam kesepian?”

Sementara ia mengatakan kata- kata menyedihkan itu, dengan tenang aku menjabat tangannya. Aku merasakan air mata hangat jatuh dari matanya ke atas tanganku yang bergetar dengan sedih dan kasih sayang anak. Aku merasakan seolah hatiku tercekik dengan duka cita. Ketika aku mengangkat kepalaku dan ia melihat air mata di mataku, ia membungkuk ke arahku dan mencium dahiku dan berkata:

“Selamat tinggal anakku, selamat tinggal.”

Air mata seorang laki-laki tua lebih menggetarkan daripada air mata seorang pemuda karena ia merupakan sisa hidup dalam tubuhnya yang lemah. Air mata seorang pemuda seperti embun yang jatuh di daun setangkai Mawar, sementara air mata seorang laki-laki tua seperti daun layu yang jatuh bersama angin musim dingin.

Ketika aku meninggalkan rumah Farris Effandi Karamy, suara Selma masih terdengar di telingaku, kecan- tikannya mengikutiku seperti sebuah hantu dan air mata ayahnya mengering dengan lambat di tanganku.

Kepulanganku seperti kepindahan Adam dari surga, namun Eva hatiku tidak ada bersamaku untuk menciptakan seluruh dunia menjadi sebuah Eden. Malam itu saat aku terla- hir kembali, aku merasa bahwa aku melihat wajah kematian untuk pertama kalinya.
Begitulah mentari menyemarak- kan dan membunuh ladang-ladang dengan panasnya.***

Harga Sejarah Sebuah Bangsa

Di sepanjang anak sungai yang berkelok liku di antara bongkahan batu- batu cadas di kaki Gunung Lebanon duduklah seorang penggembala wanita dikelilingi sekerumunan domba- domba kurus yang sedang merumput di atas rumput kering. Dia melemparkan pandangannya pada senjakala di kehampaan yang kelam seolah hendak mengejar khayalan yang lepas meninggalkannya. Air mata menetes di kelopak matanya, setetes embun menghiasi bunga-bunga. Penderitaan telah menyebabkan bibirnya terbuka, dan hatinya pun pasrah menanggung resah dan gelisah.

Setelah matahari terbenam, selaksa bukit-bukit kecil dan gunung- gunung membungkus diri mereka dalam bayangan, Sejarah berdiri di hadapan perawan. Dia adalah seorang lelaki tua berambut putih seperti salju merayap di atas dada dan pundaknya. Di tangan kanannya tergenggam sabit yang tajam. Dalam suara yang menyerupai raungan lautan, ia berkata,

“Salam sejahtera bagimu, Syiria.”*)

Sang bunga mawar perawan menggigil ketakutan dan bergumam.

“Apa yang kau inginkan dari hamba, hai Sejarah?”

Kemudian ia menunjuk dombanya.

"Ini adalah sisa sekawanan dombaku yang kerapkali menyusuri lembah ini. Inilah keirihatianmu yang engkau tinggalkan padaku. Apakah kedatanganmu sekarang sekedar untuk memenuhi hasratmu yang rakus itu?

Daratan ini yang dulu pernah tumbuh subur kini telah gersang diinjak-injak oleh kakimu yang penuh debu tandus. Lembu milikku, yang pernah merumput di atas bunga-bunga dan menghasilkan susu yang berkental-kental, kini menggerogoti tanaman widuri yang kurus kering.

Takutlah pada Tuhanmu, oh Sejarah, dan engkau merundungku tanpa ampun. Pandanganmu membuat aku benci pada kehidupan, dan de- ngan kejam sabitmu telah membuat diriku mencintai Kematian.

Tinggalkan aku dalam kesunyian agar bisa mengeringkan cangkir duka cita, anggur terbaikku. Pergilah, hai Sejarah, ke Barat di mana pesta pernikahan Kehidupan dirayakan. Biarkan aku disini, di belakangmu meratapi segala milikku yang hilang, yang telah engkau persiapkan untukku."

Dia menyembunyikan sabitnya di balik lipatan pakaiannya. Sejarah melihatnya laksana sang ayah yang penuh cinta pada anak-anaknya, dan berkata,

“Oh Syiria, bukankah segala yang telah aku renggut darimu adalah pemberianku sendiri? Ketahuilah bahwa saudara perempuan sebuah bangsa diberikan nama dari bagian kemenangan yang menjadi milikmu. Aku hams memberikan pada mereka apa yang aku juga berikan padamu. Kesedihanmu seperti negeri Mesir, Persia dan Yunani, setiap dari negeri- negeri itu juga memiliki sekawanan domba-domba kunis kering di padang rumput. Oh Syiria, apa yang kau sebut dengan keburukan tak lain adalah sebuah tidur yang menjadi hasrat kekuatan dirimu. Sesekali Bunga tidak akan kembali ke kehidupan kecuali lewat kematian, demikian pula cinta tidak akan bersemi kecuali setelah perpisahan.”

Sang lelaki tua itu datang meng- hampiri sang perawan, mengulurkan tangannya dan berkata,

“Goyangkanlah tanganku, oh Putri Nabi.”

la pun lalu menggoyangkan tangannya sambil memandangnya dari belakang layar airmata dan berkata, “Selamat jalan, hai Sejarah, selamat jalan untukmu.”

Dan ia membalas,

“Sampai bertemu lagi, Syiria, sampai berjumpa lagi.”

Dalam cuaca senja yang kelam, lelaki tua tersebut menghilang secepat cahaya. Penggembala wanita memanggil domba-dombanya dan melanjutkan lagi perjalanannya. Ia berkata pada dirinya sendiri,

“Akankah di sana ada pertemuan yang lain?”


*) Saat kisah ini ditulis Lebanon dan Syiria adalah satu negara yang dikenal dengan sebutan Syiria.

Hewari’ hewan

Di suatu senja yang temaram, pada suatu hari yang indah, ketika beribu khayalan mengendap dalam pikiranku, aku pergi seorang diri menuju pinggiran kota, menyusuri lorong- lorong jalan. Di kiri-kanan jalan yang kulalui berjejer rumah-rumah penduduk, terdiam dalam sunyi. Rumah- rumah itu kini tinggal puing-puing belaka.

Di reruntuhan rumah itu terlihat seekor anjing sedang terbujur di atas sampah dan abu. Kulitnya tercabik- cabik oleh luka-luka menganga terbalut kesakitan yang memburai di tubuh-nya yang lemah. Pandangannya yang blingsatan tertuju pada cahaya matahari, namun seolah menampakkan mata pandang yang penuh kepiluan sebagai jeritan keputusasaan, penderitaan, dan kehinaan.

Perlahan aku melangkahkan kaki, mencoba menghampirinya dengan harapan dapat kupahami bahasanya sehingga aku bisa meringankan duka lara jiwanya. Ternyata kedekatanku hanya menakutkannya saja, dan ia berusaha bangun dari sakit dengan kaki lumpuh. Anjing kurus itu terjatuh, kemudian ia membidikkan pandangannya padaku dengan harapan yang berbalut sinis. Pandangannya yang sekilas itu, begitu cepat dan lebih menyentuh daripada air mata manusia.

Berikut penuturannya yang dapat aku pahami ketika ia berkata:

"Hai anak manusia, telah aku tanggung derita nestapa sampai-sampai tak tertahankan olehku, dan hai ini disebabkan oleh kebrutalan dan ketidakmanusiawianmu.

"Aku telah lari dari kaki-kaki kalian yang telah menyebabkan tubuhku terluka memar. Akhirnya, aku pun mencari perlindungan di sini. Bagiku, hati manusia tak lebih mulia dari debu dan kotoran, puing-puing ini pun lebih melankolis ketimbang jiwa manusia. Enyahlah, kalian adalah pengacau dunia yang menodai hukum, melacuri keadilan negeri ini.

"Seringkali aku merasa heran, bahwa diriku tak lebih hanyalah makhluk sengsara yang melayani anak Adam dengan penuh kesetiaan dan loyalitas. Akulah sahabat sejatimu yang penuh setia, kau kujaga sepanjang siang dan malam. Ketika kau tiada hatiku sedih dan ketika kau kembali hatiku menyambut dengan penuh gembira. Walau makananku hanya sampah-sampah sisa makanan yang kalian makan, aku sudah cukup merasa puas. Dan aku pun sudah cukup merasa bahagia dengan tulang-tulang yang telah dikuliti oleh gigi-gigi kalian. Namun ketika umurku sudah mema- suki usia senja dan sakit-sakitan, aku lalu diusirnya dari rumah serta meninggalkan aku seorang diri tanpa berperasaan.

"Oh Putra Adam, aku lihat persamaan antara aku dan kalian ketika sang waktu meremukkan mereka. Ada bala tentara yang berjuang melawan musuh demi negara ketika mereka sudah merasa kehidupannya sejahtera. Namun saat ini, musim dingin kehidupan telah tiba dan mereka tidak berfaedah untuk waktu yang lebih lama, mereka telah tersingkir.

“Aku pun melihat sebuah persamaan antara nasibku dan nasib seorang wanita yang hari-harinya begitu indah, waktunya ia curahkan untuk hati seorang pria muda; yang kemudian, sebagai seorang ibu, hidupnya ia curahkan sepenuh jiwa untuk si buah hati. Namun setelah berusia tua, dia dicampakkan dan dijauhi begitu saja. Betapa murkanya gempamu, wahai anak Adam, kalian adalah penindas!”

Demikianlah hatiku memahami bahasa kata-kata seekor binatang bisu.


Iblis-Iblis

-Khauri adalah orang yang tajam pendengarannya, dia tahu semua detail seluk beluk hal-hal ruhiyah (immaterial), dia mampu membuka persoalan-persoalan ketuhanan, dia tahu secara dalam rahasia-rahasia dosa- dosa dan kematian, dia bisa melihat rahasia Jahim, Firdaus dan Muthahhir.

Al-Khauri selalu berpindah-pindah di desa-desa di Libanon Utara untuk mensehati manusia dan menyembuhkan jiwa-jiwa mereka dari dosa-dosa dan melepaskan mereka dari jerat-jerat syetan, karena syetan adalah musuh al-Khauri yang selalu melawannya siang malam tanpa merasa bosan dan lelah.

Penduduk desa-desa itu memuliakan al-Khauri Sam’an dan mereka tidak merasa rugi denagn menukar nasehat-nasehatnya dan do’a-doa,ya dengan emas, perak, dan mereka ber- lomba-lomba utnuk mendapatkan petunjuknya yang lebih baik dari apa pun yang dihasilkan pohon-pohon dan lebih utama dari apa yang ditumbuh- kan di ladang-ladang mereka.

Pada suaru malam musim gugur Al-Khauri Sam’an berjalan di suatu tempat yang sunyi menuju desa terpencil yang terletak di antara gunung- gunung dan lembah-lembah. Kemu- dian dia mendengar suara mengerang yang datang dari sisi jalan, lalu ia menoleh dan tiba-tiba ia melihat ada seorang lelaki telanjang tergeletak di atas tanah dan berlumuran darah yang mengalir dari luka-luka yang ada di kepalanya dan dadanya, lelaki terluka itu berkata minta tolong: Selamatkan aku, tolong aku, kasihanilah aku, aku sekarat.

Lalu al-Khauri Sam’an berhenti bingung dan memandangi lelaki yang merintih itu dan berkata dalam hati- nya: Mungkin dia salah seorang pe- rampok, aku kira dia telah berusaha merampok rombongan musafir namun ia. Saat itu lelaki terluka itu sedang sekarat dan jika dia mati semen- tara aku ada di dekatnya maka aku akan dicap bersalah bila aku membiarkannya.

Al-Khauri berkata demikian seraya meneruskan langkahnya namun lelaki terluka itu menghentikannya dengan berkata:

Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku? Aku mengenalmu dan kamu tahu siapa aku. Aku adalah gelandangan yang tak punya tempat untuk bernaung?

Al-Khauri berkata dalam hati, wajahnya memucat dan bibirnya gemetaran:

Aku kira orang ini salah satu pelawak yang melucu di depan orang-orang kemudian al-Khauri Sam’an kembali dan berkata pada dirinya: Sungguh luka-lukanya membuatku bergidik takut, lalu apa yang bisa aku lakukan untuknya? Sesungguhnya tabib penyakit kejiwaan (ruhaniyah) itu tidak bisa mengobati penyakit Jasmani.

Kemudian al-Khauri Sam’an berjalan beberapa langkah, namun lalu lelaki terluka itu berteriak, mencairkan kebekuan dengan berkata: Dekatlah padaku, dekatlah, karena kita adalah sahabat sejak lama sekali, kamu adalah al-Khauri Sam’an orang saleh, dan aku- aku bukanlah perampok atau orang sinting. Mendekatlah dan jangan tinggalkan aku, aku akan mati kesepian di lembah sunyi ini.

Mendekatlah, aku akan katakan siapa aku. Lalu al-Khauri mendekat ke arah lelaki sekarat itu dan menunduk se- hingga ia bisa melihat seraut wajah aneh yang bagian-bagiannya menyiratkan ketulusan dibalut tipuan, kejelekan ditutup keindahan, najis dipoles kesucian. Al-Khauri Sam’an mundur ke belakang sambil berteriak: Siapa kamu?.

Lelaki sekarat itu berkata lemah: Jangan takut wahai Bapak, kita adalah teman sejak lama sekali, bantu aku berdiri dan berjalanlah bersama- ku menuju sungai kecil dan cucilah luka-lukaku dengan sapu tanganmu. Al-Khauri berteriak: Katakan kepadaku siapa kamu, aku tidak mengenalmu, seingatku aku tidak pernah bertemu denganmu selama hidupku. Lelaki terluka itu berkata dan seakan telah cengkeraman maut memeluk suaranya:

Bapak tahu siapa aku, Bapak telah menemuiku 1000 kali dan Bapak telah melihat wajahku di setiap tempat. Aku adalah makhluk terdekat kepadamu, bahkan aku lebih tua dari hidupmu.

Al-Khauri berteriak:

Kamu bohong, kamu makhluk mengerikan, aku tidak pernah melihat wajahmu dalam hidupku, katakan siapa kamu jika tidak aku akan membiarkanmu mati berlumurkan darah.

Lelaki terluka itu bergerak-gerak sedikit lalu memandang tajam ke arah mata al-Khauri dan nampaklah di kedua bibirnya senyum yang penuh arti, dan dengan suara tenang, lembut lagi dalam dia berkata: Aku syetan.

Maka berteriaklah orang suci itu, kengerian-kengerian di setiap sudut lembah itu mebuatnya gemetaran, kemudian ia pandangi lekat-lekat lelaki sekarat itu, Sam’an melihat tubuh yang penuh luka itu berdiri dalam rupa iblis sebagaimana lukisan perhitungan atas dosa yang di ganturig di dinding gereja desa, kemudian Sam’an berteriak:

Tuhan telah memperlihatkan kepadaku gambar wajah jahanammu agar aku semakin membencimu, kamu orang yang terkutuk untuk selama-lamanya!

Syetan berkata:

Jangan terburu- buru hei Bapak, jangan buang-buang waktu dengan omong kosong, tetapi mendekatlah dan balutlah luka-lukaku sebelum nyawa yang ada di dalam tubuhku mengalir keluar.

Al-Khauri berkata:

Sesungguhnya jari-jariku yang selalu mengangkat sesaji untuk Tuhan-Tuhan disetiap harinya tidak akan pernah menyentuh tubuhmu yang terbuat dari tanah keras neraka Jahim, enyahlah kamu sebagai yang terkutuk dari kehidupan zaman dan bibir manusia, kamu adalah musuh lama dan penyebab atas kelaliman manusia.

Syetan berkata sambil meliuk- liukkan badan:

Kamu tidak tahu atas apa yang kamu katakan dan kamu tidak paham dosa yang mana yang kamu lakukan terhadap dirimu. Dengar, aku akan kabarkan tentang kisahku. Hari ini aku berjalan sendiri di lembah sunyi ini, ketika aku sampai di tempat ini aku bertemu dengan sekelompok pasukan malaikat lalu mereka menyerangku dan memukuliku dengan pukulan mematikan, dan andaikan di antara mereka tidak ada yang membawa pedang bermata dua pastilah telah aku tebas mereka semua, tetapi apa yang dapat dilakukan orang tak bersenjata terhadap orang yang bersenjata?.

Beberapa saat syetan berhenti berbicara meletakkan tangannya di atas luka yang menganga di bagian pelipis lalu meneruskan bicara:

Adapun malaikat yang bersenjata, aku kira itu Mikael, dialah yang ahli menebaskan pedang, andaikan aku tidak terlempar ke tanah dan berpura-pura sekarat dan mati maka tidak akan ada yang tersisa dari anggota tubuhku, semua pasti telah hancur.

Al-Khauri berkata merasa kasihan:

Mikhael, bukankah dia menyelamatkan umat manusia dari musuhnya yang keji?

Syetan berkata:

Rasa permusuhanku terhadap umat manusia itu tidak lebih buruk dari rasa permusuhanmu terhadap dirimu sendiri, kamu memberkati Mikhael sementara dia tidak memberimu manfaat apapun, kamu menggelepar-geleparkan aku saat aku hancur padahal aku tidak merampas ketenteramanmu dan kebehagiaanmu.

Apakah kamu akan menghancurkan kenikmatanku dan mengingkari kebaikanku sedang kamu hidup dalam bayang-bayang wujud- ku?

Apakah kamu tidak akan men jadikan keberadaanku sebagai tempat bekerja untukmu dan menjadikan namaku sebagai aturan-aturan untuk pekerjaan-pekerjaanmu?

Apakah yang telah berlalu itu cukup memuaskanmu daripada kehadiranku di masa depanku?

Apakah pemberontakanmu itu telah sampai pada batas yang tidak terkandung bersama batas itu suatu kebaikan?

Apakah kamu tidak tahu bahwa isterimu, anakmu dan orang-orang itu akan kehilangan rizqi mereka dengan melenyapkan aku bahkan mereka akan mati, kelaparan dengan kematianku?

Apa yang akan kamu lakukan andaikan takdir memu- tuskan untuk melenyapkan aku, dan pekerjaan apa yang bisa memperbaiki keadaan umat manusia andaikan angin ribut membinasakan namaku?

Sejak lima belas tahun kamu berjalan berkeliling di antara desa-desa dan gunung-gunung untuk memperingatkan mereka/dari tali-tali jeratku dan menjauhkan mereka dari bencana-bencana yang aku buat sementara mereka menukar ajaran-ajaranmu dengan harta mereka dan hasil kebun-kebun mereka, lalu sesuatu yang mana yang akan mereka tukar darimu esok hari andai mereka tahu bahwa musuh mereka telah mati, sementara mereka merasa aman dalam jerat-jerat dan tipuan-tipuan syetan, dan pekerjaan yang mana yang disandarkan kepadamu oleh orang-orang itu jika telah kamu musnahkan pekerjaan memerangi syetan dengan kematian syetan?

Tidakkah kamu tahu sedangkan kamu adalah seorang agamawan bahwa keberadaan syetan itu diadakan oleh musuh-musuhnya yaitu para dukun, pendeta-pendeta, dan tidakkah kamu tahu bahwa permusuhan lama itu adalah tangan misterius yang memindahkan perak dan emas dari saku-saku orang-orang beriman ke saku-saku para pemberi ajaran kebaikan dan para mursyid (penunjuk jalan kebenaran)?

Apakah kamu tidak tahu sedangkan kamu adalah orang yang 'alim lagi serba tahu bahwasanya menghilangkan sebab itu berarti menghilangkan akibat?

Kalau demikian bagaimana kamu akan rela dengan kematianku sedangkan dengan kematianku berarti meruntuhkan rumahmu, memutus rizqimu dan mencabut roti dari mulut isteri dan anakmu?

Beberapa saat syetan diam dan berubahlah tanda-tanda kekalahan di wajahnya berganti dengan tanda-tanda roman muka kemenangan, kemudian syetan kembali berkata:

Ingatlah, dan dengarkan hei penjahat yang sombong aku akan memperlihatkan kepadamu hakekat yang menghimpun wujudku dan wujudmu, mengikat wujud keberadaanku dengan nalurimu. Pada masa pertama dari zaman ini, manusia berdiri di depan matahari dan membentangkan kedua tangannya dan berteriak untuk pertama kalinya seraya berkata: Tidak ada di balik semesta raya Tuhan Yang Agung yang menyukai kebaikan!

Kemudian manusia memutar punggung membelakangi matahari dan manusia pun melihat bayang-bayangnya terhampar di permukaan tanah, lalu manusia berteriak:

Dan di keluasan hamparan bumi ada syetan terkutuk yang menyukai kejahatan! Kemudian manusia berjalan menuju goa tempat berteduh mereka sambil berbisik dalam hati: Aku ada di antara dua Tuhan yang menakutkan: Tuhan yang aku berharap kepadanya dan Tuhan yang aku perangi. Masa demi masa telah berlalu dan manusia ada di antara dua kekuatan mutlak; kekuatan yang bisa mengangkat jiwanya ke puncak kemuliaan karena itu manusia memberkatinya, dan kekuatan yang masuk ke dalam tubuhnya yang bisa membawanya kepada kegelapan karena itu manusia mengutuknya.

Namun manusia tidak tahu makna-makna keberkahan dan tidak memahami dasar- dasar kutukan, tetapi konon antara keduanya seperti pohon di musim panas yang menyelimutinya. Dan ketika manusia sampai kepada fajar peradaban di mana cinta manusia telah menumbuhkan keluarga kemu- dian suku sehingga berbeda-bedalah pekerjaan karena beragamnya tempat minum dan keluhan mereka, sebagian suku-suku manusia itu mengerjakan tanah dan yang lain bertemak, menyulam pakaian, dan membangun pertambambangan-pertambangan. Pada masa yang telah lama sekali itu muncullah kerahiban di bumi. Dan itulah penyimpangan pertama yang dilakukan oleh manusia tanpa merasa perlu kepada kebutuhan hidup atau hal-hal yang sewajarnya dalam hidup.

Syetan berheti bicara sebentar kemudian tertawa terbahak-bahak dengan suara yang menggetarkan lembah sunyi itu. Seolah-olah gelak- gelak tertawa syetan itu melebarkan lubang mulutnya karena itu ia peqang lambungnya dengan tangannya yang terluka, kemudian ia menatap tajam al-Khauri Sam’an seraya berkata:

Pada masa itu kerahiban muncul di bumi. Hei saudaraku, aku akan tunjukkan bagaimana kemunculannya: Dulu di kabilah suku yang pertama ada seorang lelaki yang di sebut “Louis” aku tidak tahu mengapa nama aneh itu diberikan kepadanya. Konon Louis adalah seorang lelaki cerdas, tetapi dia penganggur lagi bertubuh lemah, dia tidak suka membajak ladang, berternak, menggembala kambing dan berburu binatang liar. Bahkan konon dia benci pada semua pe- kerjaan yang menuntut tenaga dan gerak tubuh. Dan saat itu rizqi itu tidak datang kecuali dengan bekerja, maka Louis setiap malamnya lebih banyak tinggal di gubuknya dengan perut kosong.

Dan pada suatu malam musim panas, anggota suku itu sedang berkumpul di sekiling pondok pemimpin mereka membicarakan keseharian mereka dan saat itu mereka sudah mengantuk, tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri tegak dan menunjuk ke arah rembulan dan ber- teriak ketakutan seraya berkata:

Lihatlah Tuhan Malam, wajahnya telah tertutup dan sinarnya menghilang dan berubah menjadi batu hitam menggantung di langit. Orang-orang pun memandang lurus ke arah rembulan kemudian mereka panik sambil berteriak-teriak, berhamburan, gemetaran, ketakutan, dan seolah- olah tangan-tangan kegelapan telah mencengkeram jantung mereka karena mereka melihat Tuhan Malam telah berubah secara perlahan-lahan menjadi bola hitam dan karena itu permukaan bumi pun berubah.

Ngarai-ngarai dan lembah-lembah tertutup di balik kain cadar hitam, saat itulah Louis maju ke muka dia telah melihat gerhana bulan dan gerhana matahari beberapa kali pada masa hidupnya yang dulu, ia berdiri di tengah-tengah orang-orang mengangkat kedua tangannya ke atas, dan dengan keras ia keluarkan semua yang ada dalam kecerdasannya berupa kepura- puraan dan kebohongan-kebohongan serta hal-hal yang dibuat-buat, dia berteriak seraya berkata:

Sujudlah kalian, sujudlah, berdoalah menyebut nama Tuhan dan sapulah wajah kalian dengan tanah, karena Tuhan Kejahatan sedang bertarung dengan Tuhan Malam yang menerangi dan jika dia kalah maka kita akan mati dan jika menang kita akan tetap hidup. Bersujudlah kalian, berdoalah dan sapulah wajah kalian dengan debu, pejamkanlah mata kalian dan jangan kalian mendongakkan kepala kalian ke langit karena barang siapa yang melihat pertarungan Tuhan Cahaya dan Tuhan Kejahatan maka ia akan kehilangan penglihatannya dan petunjuknya, akan menjadi gila dan buta sampai akhir hayatnya, menunduklah dan berdoalah dengan hati kalian agar Tuhan Cahaya bisa mengalahkan musuhnya …

Dan Louis terus saja berbicara dengan kata-kata itu yang muncul dari imajinasinya ucapan-ucapan baru dan terus mengulang-ulang ucapan-ucapannya yang aneh yang belum pernah mereka dengar sebelum malam itu, sampai hal itu berlangsung selama setengah jam dan rembulan pun telah kembali kepada bentuk semula dengan sempurna, lalu Louis meninggikan suaranya dan berkata dengan nada berwibawa dan gembira:

Cukup, sekarang lihatlah Tuhan Cahaya telah mengalahkan musuhnya yang jahat dan telah beredar kembali diantar arak-arakan awan tipis dan bintang-bintang. Dan ketahuilah bahwa kalian dengan bersujud dan doa kalian, kalian telah menolong Tuhan Cahaya dan menggembirakannya, karena itu sekarang kalian dapat melihatnya. Lebih terang dan lebih menyilaukan.

Kemudian orang-orang itu berdiri dan menatap rembulan yang telah bersinar kembali, dan berubahlah ketakutan mereka menjadi kedamaian, kekhawatiran mereka menjadi kegembiraan, dan mulailah mereka meloncat-loncat menari-nari sambil memuji- muji Tuhan, meniup terompet-terom- pet yang terbuat dari besi dan tembaga, memenuhi kesunyian lembah itu dengan keramaian dan suara gaduh mereka…

Pada malam itu juga pemimpin suku memanggil Louis dan berkata kepadanya:

Pada malam ini kamu telah memberi sesuatu yang belum pernah diberikan oleh orang lain sebe- lum kamu, kamu tahu rahasia-rahasia hidup yang di antara kami tidak ada yang tahu selain kamu, karena itu bergembiralah dan berbanggalah kamu karena kamu mulai saat ini adalah orang kepercayaan di baris pertama setelah aku. Aku adalah yang paling perkasa dan paling berkuasa di suku ini dan kamu adalah orang yang paling banyak pengetahuannya dan hikmahnya di antara mereka, kamu adalah perantara antara aku dan tuhan-tuhan, kamulah yang akan memberitahukan kehendak mereka, menjelaskan untukku perbuatan-perbuatan mereka dan rahasia- rahasia mereka, dan kamulah yang akan mengajarkan kepadaku apa yang harus aku kerjakan agar aku memperoleh keridhaan dan cintanya tuhan-tuhan.

Louis berkata:

Semua yang dikatakan tuhan-tuhan kepadaku dalam mimpi akan aku katakan dalam alam nyata, apa yang aku lihat dari hal- hal yang akan terjadi akan aku jelaskan kepadamu, karena aku adalah perantara antara kalian dan Tuhan.

Pemimpin suku itu pun merasa senang. Lalu Louis diberi dua ekor kuda 70 domba dan 70 ekor biri-biri, lalu kepala suku berkata kepadanya: Anggota suku kita akan membuatkan sebuah rumah untukmu yang menyerupai rumahku, dan mereka pada setiap musim panen akan menyerahkan sebagian hasil bumi dan buah-buahan kepadamu, kamu akan hidup sebagai tuan, berkecukupan dan terhormat. Saat itu Louis telah bangkit dan berdiri untuk pergi lalu kepala suku meng- hentikan dan bertanya seraya berkata:

Tetapi apa itu Tuhan yang kamu sebut sebagai Tuhan Kejahatan? Siapa Dia yang berani melawan Tuhan Malam yang mulia? Sesungguhnya kami belum pernah mendengarnya sama sekali dan kami tidak tahu akan keberadaannya.

Louis mengerutkan dahinya lalu menjawab seraya berkata:

Wahai Tuan, sesungguhnya Tuhan Kejahatan itu sudah ada sejak dulu kala sebelum kemunculan manusia, karena semua Tuhan hidup dalam alam kedamaian dan penuh cinta kasih di Kota Jauh di balik Galaksi Bimasakti. Dan konon Tuannya tuhan-tuhan yaitu bapaknya tuhan-tuhan, la tahu apa yang tidak diketahui tuhan-tuhan yang lain, la menyimpan beberapa rahasia ketuhanan di balik Wahyu Azali. Lalu pada masa ketujuh pada tahun ke-12 datanglah Ba’tar dialah yang membenci Tuhan Terbesar, dia berdiri di depan ayahnya dan berkata:

Kamu berlakukan untuk dirimu kekuasaan mutlaq atas semua makhluk, menyembunyikan dari kami rahasia-rahasia alam, wahyu dan zaman? Dan bukankah kami ini anak-anakmu, laki-laki dan perempuan, dan kami adalah orang-orang yang bersatu untukmu karena kekuasaan- mu dan hari kelahiranmu?

Karena itu Tuhannya tuhan-tuhan marah dan menjawab:

Aku akan menjaga Kekuatan Yang Pertama, kekuasaan dan rahasia-rahasia asasi sampai kapanpun, akulah Yang Maha Awal dan akulah Yang Maha Akhir.

Lalu Ba’thar berkata:

Kamu tidak membagi kekuatanmu dan kekuasaanmu kepadaku. Kamu selalu berbuat sewenang-wenang padaku, anak- anakku, cucu-cucuku, dengan kekuatanmu dan kekuasaanmu.

Tuhannya Tuhan-Tuhan pun saat itu juga berdiri tegak di atas singgasananya dan pengawal-pengawalnya menghunus pedang dan memasang perisai di atas matahari, dengan suara yang menggetarkan seluruh sisi alam Dia berteriak sambil berkata:

Hei penindas yang jahat turunlah ke dunia tempat di mana kegelapan dan penderitaan akan melumat yang terusir lagi sesat sampai matahari berubah menjadi abu dan bintang-bintang berubah menjadi anai-anai berhamburan.

Pada saat itu turunlah Ba’thar dari alam Tuhan-Tuhan menuju alam dunia tempat di mana roh-roh kotor tinggal. Dan Ba’thar bersumpah atas rahasia keabadiannya bahwasanya dia sepanjang masa akan selalu melawan Tuhannya Tuhan-Tuhan, saudara-saudaranya dan akan selalu mencampuri urusan setiap orang yang mencintai Bapaknya atau mencampuri urusan orang yang mencari saudara-saudaranya.

Peminpin suku itu berkata, dahinya mengkerut dan wajahnya nampak kosong terbengong-bengong: Jadi nama Tuhan Kejahatan itu Ba’thar?

Louis menjawab:

Nama Ba’thar itu saat ia ada di alam Tuhan-Tuhan, namun setelah ia turun ke bumi berubah menjadi memiliki beberapa nama di antaranya Ba’lazbul, Iblis, Sathanail, Balyal, Zamyal, Morih, Abdun dan Syetan. Dan yang paling dikenal adalah syetan.

Lalu peminpin suku itu meng- ulang-ulang kata syetan beberapa kali dengan suara yang membuat gemetaran ranting-ranting kering seolah diterpa angin, kemudian pemimpin suku itu berkata:

Kenapa oh Tuhan, syetan itu membenci manusia hanya karena dia benci kepada Tuhan?

Louis menjawab:

Sesungguhnya syetan membenci manusia dan mengganggu manusia itu dikarenakan manusia itu termasuk anak turun dan saudaranya Tuhannya Tuhan-Tuhan.

Peminpin suku berkata bingung:

Kalau begitu syetan adalah pamannya manusia?

Louis pun menjawab ucapan- ucapan yang dibuat-buat:

Ya benar Tuan, akan tetapi syetan adalah musuhnya manusia yang terbesar, pendendam terhadap manusia dan selalu menjejali hari-hari manusia dengan keluh kesah dan malam- malam mereka dengan mimpi-mimpi yang menakutkan. Dialah kekuatan yang mengarahkan badai ke gubug- gubug manusia, membakar tanaman- tanaman mereka dengan hawa yang sangat panas, yang menggigit tenunan-tenunan mereka dengan kemalasan, dan mengelus-elus tubuh- tubuh mereka dengan penyakit-penyakit. Syetan adalah Tuhan kuat, yang jahat lagi menjijikkan, dia tertawa di atas penderitaan kita dan mendendam atas kegembiraan kita. Karena itu kita harus paham betul dengan tabiat-tabiatnya agar kita terhindar dari kejahatannya, dan kita musti memahami perilaku-perilakunya agar kita jauh dari jalan kesesatannya.

Pemimpin suku itu menyandarkan kepalanya dan berbisik seraya berkata:

Kini aku tahu apa yang membuatku merasa takut, berupa kekuatan aneh itu yang mengarahkan badai ke rumah-rumah kita, menggigit tenunan-tenunan kita, dengan kemalasan, semua orang saat ini akan tahu atas apa yang telah aku ketahui, mereka pasti akan berterima kasih kepadamu karena kamu telah memberitahukan kepada mereka rahasia- rahasia musuh kita yang kuat itu, dan kamu telah mengajarkan kepada mereka bagaimana mereka menghindar dari jerat-jeratnya.

Louis pun pergi dari hadapan pemimpin suku itu dan pergi ke tempat berteduhnya dengan gembira karena kecerdasan akalnya, bangga dengan imajinasinya yang melengahkan. Adapun pemimpin suku dan anggota suku itu pulang ke rumah masing- masing, mereka berbolak-balik di tempat tidur mereka diliputi bayang-bayang menakutkan dan mimpi-mimpi mengerikan.

Syetan yang terluka itu berhenti bicara dan al-Khauri Sam’an menatap syetan sementara di matanya terpancar rasa bingung dan ketakutan dan di kedua bibirnya terukir senyum kematian.

Kemudian syetan mulai bicara lagi:

Demikianlah munculnya kera- hiban di bumi dan demikianlah keberadaanku yang menjadi sebab atas kemunculan kerahiban itu. Dan Louis adalah orang pertama yang menjadikan permusuhanku sebagai sebuah pekerjaan. Dan pekerjaan ini menjadi sangat digemari setelah kematian Louis di tengah anak-anak dan cucu- cucunya, lalu aku tidur dan bersembunyi sampai kerahiban itu menjadi sebuah ilmu yang dikuduskan, tidak ada yang bisa mengambilnya kecuali orang yang berakal cerdas, berjiwa mulia, hati yang suci dan daya imajinasi yang luas.

Di kalangan bangsa Babilon orang-orang bersujud sebanyak tujuh kali di depan seorang rahib yang memerangiku dengan jampi- jampinya. Di Niniveh orang-orang tunduk kepada orang yang mengklaim dirinya mengetahui betul akan rahasia- rahasia yang katanya seperti lingkaran emas di antara Tuhan-Tuhan dan manusia. Di Tibet orang-orang menyebut orang yang berperang melawanku dengan sebutan Anak Matahari dan Bulan. Di Ephesus dan Antioch orang menaruh anak-anak kecil mereka di terik matahari agar me- musuhiku. Di Jerusalem dan Roma orang-orang menyerahkan roh mereka ke dalam genggaman orang yang bisa mencari-cari kebencianku dan kekafiranku. Di setiap kota di depan matahari konon namaku dibicarakan oleh ahli-ahli agama, seni, ilmu dan filsafat. Karena itu haikal tidak dibangun kecuali dalam perlindunganku, pertapaan-pertapaan dan institut-institut tidak akan muncul tanpa adanya kemunculanku, istana-istana dan pesanggrahan-pesanggrahan tidak akan didirikan kecuali karena tingginya rumahku.

Aku adalah Kehendak yang dilahirkan Kehendak dalam diri manusia, aku adalah inspirasi yang menumbuhkan kecerdikan dalam pikiran-pikiran manusia, dan aku adalah tangan misterius yang menggerakkan tangan-tangan manusia. Aku adalah syetan azali nan abadi aku adalah syetan yang memusuhi manusia agar mereka tetap hidup. Dan jika kalian menghancurkan kedudukanku terhadap mereka, maka kecerdasan fikiran mereka akan terhenti, roh-roh mereka akan membunuh kemalasan dan tubuh-tubuh mereka akan kehilangan ketentraman. Aku adalah syetan azali nan abadi. Aku adalah badai kilat berguntur, aku bertiup dalam otak-otak kaum lelaki dan dada kaum wanita, dan menyapu bersih kecenderungan-kecenderungan mereka pada biara-biara dan kuil-kuil untuk memujaku karena mereka takut kepadaku atau mereka pergi ke tempat keramat atau tempat judi untuk menyenangkan aku dengan penyerahan diri mereka kedalam kehendakku.

Karena itu seorang pendeta berdoa di tengah kesunyian malam agar aku menjauh dari tempat tidurnya, dia itu seperti pelacur yang memanggil- manggilku agar aku mendekati ranjangnya. Aku adalah syetan azali nan abadi. Aku adalah anak biara-biara dan kuil-kuil yang berazaskan ketakut- an, akulah pendiri bius-bius kesenangan dan rumah-rumah dosa yang berazaskan nafsu syahwat dan kenikmatan. Jika wujudku hilang, maka hilanglah dan matilah pula pengalaman hidup manusia dan dengan kematiannya maka hilanglah kekuatan ma’nawi itu yang menjadikan manusia selalu waspada, dan dengan kematian wujud syetan maka akan hilanglah sebab yang mendorong manusia untuk berdoa, berpuasa dan beribadah. Wujud syetan harus hidup karena jika kamu membunuhnya maka manusia akan tenggelam dengan hilangnya rasa takut mereka pada neraka jahim, dan mereka akan salah dalam ibadah dan larut dalam dosa. Karena itu wujud syetan harus tetap hidup, karena dengan tetap hidup, maka manusia akan terbebas dari kehinaan. Adapun aku, aku akan mengorbankan kebencianku untukmu di atas pengorbanan cintaku pada manusia.

Lalu syetan tertawa seolah memancarnya duri landak dan berkata:

Alangkah cerdiknya kamu, betapa baiknya kamu hei Bapak yang mulia, betapa luasnya pengetahuanmu akan hal-hal transendental (ketuhanan)? Ini, lihatlah aku telah temukan -berkat kekuatan pengetahuanmu- sebab keberadaan wujudku yang aku tidakpernah tahu sebelumnya.

Sekarang aku tahu bahwa setiap diri kita adalah sebab-sebab indrawi dan transenden yang telah membuat kita ada dan cinta kita pada awal penciptaan. Dan sekarang kita harus pergi meninggalkan tempat ini. Mendekatlah hei saudaraku, kemari dan bawalah aku ke rumahmu. Aku bukanlah orang yang berat badannya lihatlah malam telah gelap setelah separuh darahku mengalir bahkan lembah ini juga telah menjadi hitam karena darahku.

Al-Khauri Sam’an mendekati syetan, mengulurkan kedua tangannya, mengikatnya dengan sabuknya lalu mengikat syetan di atas punggungnya dan berjalan menuju perkampungan.
Di antara lembah-lembah yang tertutupi kesunyian, binatang-binatang kecil menghiasi malam. Al-Khauri Sam’an berjalan menuju desanya menundukkan punggungnya di bawah haikal aib, pakaiannya yang hitam dan jubah panjangnya telah menjadi kotor oleh tetesan darah yang mengalir dari luka-luka syetan.


Jagad Raya dan Isinya

Aku duduk di sebuah tanah lapang ketika fajar senja memadu satu di jingga langit, sambil bercengkrama dengan Semesta, sementara Manusia beristirahat dengan teduh di bawah kerudung lelapnya. Aku terbaring di atas rumput hijau dan melakukan se- medi tentang persoalan-persoalan hidup:

“Apakah Kebenaran adalah Keindahan? Apakah Keindahan adalah Kebenaran?”

Dan semesta pikiranku kutemukan diriku terpencil dari umat manusia, dan khayalanku membongkar tirai mated yang menyembunyikan telaga sukmaku. Jiwaku mengembara menyusuri keghaiban Semesta, dan telingaku terbuka oleh bahasa keajaibannya.

Setelah aku duduk terpekur, aku merasakan semilir angin melintasi ranting-ranting pohon, dan aku mendengar suara merintih seperti erangan seorang anak yatim piatu yang ter-sesat.

“Mengapa engkau berkeluh kesah, hai sepoi angin yang lembut?” aku bertanya.

Dan angin sepoi-sepoi itu menjawab,

“Karena aku telah datang dari kota yang bercahaya dengan panas mentari, namun benih-benih wabah penyakit dan pencemaran mencabik- cabik jubah kebesaranku. Pantaskah kamu menyalahkanku karena berduka cita?”

Kemudian aku menatap pada wajah-wajah bunga yang ternodai oleh airmata, dan aku mendengarkan rintihan mereka yang lembut. Aku bertanya,

“Mengapa kalian menangis, bungaku yang indah?”

Salah satu bunga mengangkat kepalanya yang lembut dan berbisik,

“Kami menangis karena Manusia akan datang untuk memotong kami, lalu menawarkan kami untuk dijual di pasar-pasar kota.”

Bunga yang lain menambahkan,

“Di waktu semesta, ketika kami layu, kami dilemparkan ke atas tumpukan sampah. Kami menangis karena tangan Manusia yang bengis merenggut kami dari taman.”

Dan aku mendengar aliran sungai meratap seperti seorang janda yang meratapi kematian suami dan putra- putrinya dan aku bertanya,

“Mengapa engkau menangis, aliran sungaiku yang suci?”

Dan aliran sungai itu menjawab,

“Karena aku dipaksa untuk pergi ke kota di mana Manusia menodai kesucianku dan menolakku dengan angkuh untuk menjadikanku minuman yang menguatkan, dan menjadikan aku sebagai tempat penampungan sampah, mencemari kesucianku serta mengubah kebaikanku menjadi dekil.”

Dan aku mendengar kicau burung yang merintih, dan aku bertanya,

“Mengapa kalian menangis, burung- burungku yang cantik?”

Salah satu dari burung itu terbang mendekat, hinggap di sebuah ranting dan bertutur,

“Anak-anak Adam akan segera datang ke ladang ini dengan senapan-senapan mereka yang mematikan dan membidikkannya ke tubuh kami, seolah kami adalah monster yang mengancam kehidupan mereka. Saat ini kami memilih daun- daun yang dapat menaungi kami sebagai tempat perlindungan, karena kami tak tahu kemana lagi harus lari dari kemurkaan manusia. Kematian mengintai kami kemana pun kami pergi.”

Sekarang matahari terbit dari belakang puncak pegunungan, dan menyepuh puncak-puncak pepohonan dengan pelangi. Aku memandang keindahan ini dan bergumam pada diriku sendiri,

“Mengapa Manusia harus menghancurkan apa yang telah di bangun oleh Semesta?”


Kecantikan yang Luar Biasa

Kemanakah kamu hendak berjalan bersamaku, hei yang cantik luar biasa?

Sampai kapankah aku akan mengikutimu di atas jalan yang kasar, yang ada di antara tebing-tebing batu, yang penuh dengan duri-duri, yang kita daki dengan kaki kita menuju puncak ketinggian dan yang membawa kita turun ke dasar lembah yang terdalam?

Aku telah berpegang erat pada ujung pakaianmu dan berjalan di belakangmu seperti anak kecil yang berjalan di belakang ibunya, sambil melupakan mimipi yang terjadi padaku, berjalan berputar-putar menggapai keindahanmu, menghalau arak-arakan awan yang berterbangan di sekitar kepalaku dan tertarik oleh kekuatan yang bersembunyi dalam tubuhmu.

Berhentilah sejenak agar aku melihat keelokan wajahmu, tataplah aku lekat-lekat agar aku melihat dalam matamu itu rahasia-rahasia hatimu dan aku mengerti akan roman wajahmu yang menyiratkan ratapan- ratapan jiwamu.

Berhentilah sebentar hei yang memepesona,aku telah bosan berjalan dan jiwaku telah gemetaran karena kengerian-kengerian yang ada di jalan ini. Berhentilah, kita telah sampai di penghujung jalan di mana kematian akan memeluk kehidupan, dan aku tidak akan menempuh jalan lain sampai jiwaku mengerti akan kehendak- kehendak jiwamu dan hatiku memahami isi lorong hatimu.


Dengarkanlah hei peri yang mempesona.

Kemarin aku adalah burung yang bebas, aku berpindah-pindah di antara sungai-sungai dan aku berenang di angkasa dan di astas pucuk-pucuk ranting-ranting. Dan saat sore hari aku mengimpikan istana-istana dan haikal-haikal yang ada di kota awan warna-warni yang dibangun oleh matahari saat senja hari dan merubuhkannya sebelum terbenam.

Bahkan kemarin aku seperti ide, aku berjalan sendirian di belahan timur dan belahan barat bumi, ber- gembira dengan keindahan-keindahan hidup dan kenikmatan-kenikmatannya, menguraikan lipatan-lipatan wujud dan rahasia-rahasianya.

Bahkan kemarin aku seperti mimpi, aku merayap di bawah sayap malam dan aku masuk ke dalam bilik gadis-gadis perawan malalui celah- celah jendela lalu aku memain-mainkan perasaan mereka, kemudian aku berdiri di samping ranjang pemuda- pemuda lalu aku terbang-terbangkan hasrat-hasrat mereka, kemudian aku duduk di dekat balai-balai orang-orang tua renta dan aku buai-buai pikiran- pikiran mereka.

Dan hari ini, setelah aku bertemu denganmu hei peri yang mempesona, dan aku telah terkena racun yang melekat di kedua tanganmu, aku telah menjadi seperti tawanan, kamu tarik ikatan-ikatanku ketempat yang aku tidak mengenalnya, bahkan menjadi seperti orang mabuk karena kebanyakan minum arak yang merampas kehendakku dan genggaman telapak tangan yang menyambar wajahku.

Tetapi, berhentilah hei peri yang mempesona sebentar saja, dan lihatlah kekuatanku yang telah pulih dan ikatan-ikatan yang ada padaku yang mengikat kedua kakiku telah terputus dan aku telah pecahkan gelas yang dari gelas itu aku telah meminum racun yang kamu anggap baik. Lalu apa yang kamu mau untuk kami kerjakan dan di atas jalan mana yang kamu kehendaki untuk kami lalui?

Telah aku tarik kembali kebebasanku, karena itu apakah kamu rela terhadapku sebagai teman yang merdeka, terbang berputar-putar menuju wajah matahari dengan membawa pelupuk-pelupuk mata yang beku da menggenggam api dengan jari-jari tanpa merasa gemetaran?

Aku telah bentangkan sayapku yang kedua karena itu apakah kamu mau menamaniku menghabisakan waktu dengan terbang seperti burung nazar melintas di antara gunung-gunung dan melewatkan malam dengan mendekam seperti singa di padang rumput?

Apakah kamu merasa puas dengan cinta seorang lelaki yang menjadikan cinta sebagai teman dan apakah kamu merasa segan dengan cinta itu sebagai seorang tuan?

Apakah kamu bisa menerima cintanya hati yang kehausan, yang tidak tunduk, yang menyala-nyala namun dia tidak mencair?

Apakah kamu merasakan ketenangan bersama keinginan-keinginan jiwa yang gemetaran di depan angin kencang namun dia tidak rubuh, dan terbang bersama angin puyuh namun dia tidak terpental dari tempatnya?

Apakah kamu rela menganggap aku sebagai sahabat yang tidak menindas dan tidak pula ditindas?

Kalau begitu satukanlah kedua tanganku ini dengan kedua tanganmu yang indah itu, dan tubuh ini peluklah dengan kedua lenganmu yang lembut itu, dan mulutku ini ciumlah dengan ciuman panjang lagi dalam yang mengulum kalbu.


Narasi

Di tepi sungai itu, di bawah kerimbunan pohon kenari dan willow, duduklah seorang anak petani sambil memandang arus air yang mengalir tenang dan syahdu. Seorang anak muda yang tumbuh besar di antara perladangan, di mana segala sesuatunya mempercakapkan cinta. Cabang-cabang berpelukan, bunga-bunga bergoyang, burung-burung melompat-lompat. Alam beserta isinya meng- khotbahkan ajaran Roh.

Adalah seorang pemuda dua puluh tahunan usia yang kemarin melihat seorang gadis di antara gadis-gadis di dekat sebuah perigi, kemudain ia mencintainya. Namun setelah ia tahu dia adalah seorang puteri raja, kecewalah hatinya. Ia hanya bisa mengeluh pada dirinya sendiri. Tapi celaan tak bisa memalingkan hati dari cinta, ataupun memalingkan jiwa dari kebenaran. Manusia, di antara hati dan jiwanya, laksana tunas sebuah ranting di antara angin utara dan angin selatan.

Begitu ia memandang, dilihatnya bunga violet di antara bunga kanigara. Didengarnya burung bulbul bercakap dengan burung murai. Ia menangisi kesendirian dan kesepiannya. Saat-saat cintanya melintas di depan mata, seperti hantu yang berlalu, maka dia pun berkata dengan perasaan mengalir, berpadu dengan air mata dan kata-katanya.

“Begitulah cinta menghinaku, demikian pula ia menjadikanku tercela, menggiringku pada suatu batas di mana harapan dianggap sebuah aib dan dambaan berarti nista. Cinta yang kupuja telah mengangkat hatiku ke istana sang raja sekaligus menjatuh- kanku ke gubuk petani. Berjalan seiring jiwaku pada kecantikan seorang bidadari yang dijaga para lelaki dan dikawal oleh derajat yang agung.”

“Oh Cinta, aku seorang patuh, lalu apakah yang kauinginkan? Telah kutelusuri jalanmu yang berapi dan telah menghanguskanku. Telah kubuka mata dan tak kulihat melainkan kegelapan. Telah kubuka mulutku tetapi aku tak dapat mengucapkan apapun kecuali mengucapkan putus asa. Kerinduanku memelukku, aduhai cinta, dengan kelaparan sukmawi dan tak akan selesai melainkan dengan kecupan kekasih. Aku lemah, wahai cinta, sementara engkau perkasa, lalu kenapa kaumusuhi aku? Mengapa aku kaudera sedang engkau adil dan aku merdeka? Mengapa aku kauhina sementara engkau adalah penolongku satu-satunya? Mengapa aku kaukucilkan sedangkan engkau adalah keberadaanku?”

“Maka apabila darahku akan mengalir di luar karsamu, tumpahkanlah. Apabila kakiku akan melangkah di selain jalanmu, lumpuhkanlah. Lakukan apa maumu pada raga ini tapi biarkan jiwaku bahagia pada perladangan ini, berlindung di bawah naungan sayap-sayapmu.”

“Sungai-sungai mengalir menuju kekasihnya, lautan. Bunga-bunga tersenyum pada pencintanya, cahaya. Dan awan-awan turun menuju dambaannya, lembah. Sedang aku, pada diri ini ada sesuatu yang tak dimengerti sungai, tak didengar bunga-bunga dan tak dipahami awan-gemawan. Dan engkau lihat aku sendiri dalam bencanaku, sendiri dalam cinta menyala, jauh dari dia yang tak menghendakiku menjadi prajurit di dalam bala tentara ayahnya serta tak rela bila aku menjadi seorang abdi dalam istananya.”

Pemuda itu diam sejenak. Seolah-olah ia ingin belajar bicara pada gemercik air sungai dan gemerisik daun- daun di pepohonan. Lalu ia kembali bicara sendirian.

“Duhai engkau pemilik nama yang aku takut, bahkan untuk memanggilnya sekalipun. Engkau yang terhalang pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan. Duhai bidadari yang akan kujumpai di alam baka, di mana semuanya dipandang sederajat. Duhai insan yang dianugerahi tenaga di mana para abdi membungkuk di hadapannya, pintu- pintu gudang dan tempat ibadah terbuka untuknya, engkau kuasai hati yang dikeramatkan cinta, telah kauperbudak jiwa yang dimuliakan Tuhan, telah kautahan akal yang kemarin merdeka seperti perladangan ini, maka jadilah hari ini ia menjadi tawanan bagi belenggu cinta menyala ini.”

“Aku melihatmu, duhai jelita, maka aku tahu sebab kedatanganku ke dunia ini. Dan setelah kutahu keagungan pangkatmu dan kehinaan diriku, maka aku sadar bahwa ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia, serta jalan menuju suatu tempat di mana cinta memutus tidak dengan hukum manusia.”

“Setelah kutatap sepasang matamu aku menjadi yakin bahwa kehidupan dunia ini adalah taman Firdaus dengan hati manusia sebagai pintu gerbangnya. Dan begitu kulihat kemuliaanmu dan kehinaanku, bertarung seperti pertarungan mastodon dan serigala, aku tahu bahwa dunia ini tidaklah pantas kuhuni. Aku menduga, setelah kulihat engkau duduk di antara wanita-wanita temanmu, serupa mawar di antara bunga-bunga, bahwa pengantin mimpiku telah menjelma sosok manusia sepertiku. Dan sesudah kutahu kemuliaan ayahmu aku sadar bahwa mawar memiliki duri yang dapat melukai jemari. Segala sesuatu yang telah disatukan mimpi, kesadaran akan memisahkannya…”

la bangkit lalu melangkah menuju perigi dengan dua tangan terjurai. Luluh hatinya. la lukiskan putus hara- paannya dengan kalimat-kalimat ini:

“Wahai maut, bebaskan aku, karena bumi di mana onak duri mencekik leher bunga-bunganya, tidaklah pantas dihuni. Kemari dan bebaskanlah diriku dari hari-hari di mana ia turunkan cinta dari singgasana keagungannya dan menggantinya dengan kemuliaan tahta. Kemarilah duhai maut, karena keabadian lebih pantas sebagai tempat pertemuan dua kekasih. Di sanalah, kematian, kekasihku menunggu. Di sanalah kami akan menyatu.”

Malam telah turun ketika ia mencapai mata air. Matahari menarik selempang-selempang keemasannya dari pedataran itu. Dan duduklah ia dengan air mata merana, menetes di rerumputan yang kemarin dilalui sepasang kaki putri raja itu. Ia menundukkan kepala ke dada, seakan-akan khawatir hatinya keluar.

Pada kejap itu, dari balik pohon- pohon willow, tampaklah seorang gadis menjinjing ujung keliman gaunnya di atas rumput, lalu berhenti di hadapan pemuda itu dan menaruh tangannya yang suterawi pada kepalanya. Pemuda itu kemudian menatapnya dengan pandangan orang tidur yang terbangun oleh sinar matahari. Ia melihat putri raja itu tertegun di hadapannya. la pun berlutut seperti halnya Musa ketika melihat semak-semak menyala.

Saat ia hendak berkata, ia bungkam. Dan air matanya yang tergenang itulah sebagai ganti mulutnya.

Gadis itu lalu memeluknya, mengecup bibirnya, mencium matanya dan menghisap air matanya yang hangat lalu berkata dengan suara yang melebihi lembut alunan seruling.

“Telah kulihat engkau, kekasihku, dalam mimpi-mimpiku. Kulihat wajahmu dalam kesendirianku dan ke- terpisahanku. Engkaulah kekasihku yang hilang dan belahan jiwaku yang rupawan, terpisah manakala aku ditakdirkan lahir ke dunia ini. Aku datang sembunyi-sembunyi demi men- jumpaimu. Dan kini lihatlah, engkau berada dalam rengkuhanku. Tak usah cemas karena telah kutinggalkan kemuliaan ayahku untuk mengikutimu ke penghujung bumi sekalipun, bersamamu aku akan mereguk cawan hidup dan kematian. Bangkitlah kekasihku, mari kita pergi menuju ternpat yang jauh dari manusia.”

Sepasang asyik-masyuk itu pun berjalan di antara pepohonan yang disembunyikan tirai-tirai malam, tapi tidak terhijab oleh para pengintai sang raja dan bayang-bayang kegelapan.

Di sana, di penghujung negeri, secara kebetulan para mata-mata raja menemukan sepasang kerangka manusia. Pada leher salah satunya terdapat kalung emas. Di dekat mereka terdapat sebuah batu dengan aksara sebagai berikut; Cinta telah menyatukan kami, siapa mampu memi- sahkan kami? Kematian telah mereng- gut kami, siapa sanggup mengembalikan kami?


Demi Kesucian Sejati

Untuk mencegah kian banyaknya jumlah korban jiwa yang jatuh dan amunisi, kita harus mundur dalam pola yang teratur ke dalam kota yang tidak dikenal musuh dan di sana kita bangun strategi baru lagi," kata sang jenderal dengan wajah tegang karena tidak ada jalan lain kecuali mengumandangkan perintah itu.

“Kita akan berjalan menembus hutan belantara. Itu akan lebih baik daripada kita kemudian terhalang oleh musuh. Kita akan menuju sebuah markas, barulah di sana kita akan beristirahat dan menambah bahan makanan.”

Balatentaranya menyetujui, lantaran dalam situasi genting seperti itu tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Mereka berjalan menembus rimba belantara selama empat hari di bawah berbagai tekanan teriknya siang, dinginnya malam menusuk tulang, haus dan lapar. Sampai suatu ketika mereka melihat sebuah bangunan yang menjulang seperti sebuah kastil kuno. Pintu gerbangnya laiknya sebuah kota bertembok. Pemandangan itu membangkitkan kegembiraan di hati. Mereka menyangka bahwa inilah markas yang mereka tuju untuk beristirahat dan mengumpulkan makanan.

Sewaktu mereka membuka gerbang, sampai beberapa saat tak ada seorang pun yang menyembut. Lalu, seorang wanita berjubah hitam, di mana wajahnya merupakan satu-satunya bagian tubuh yang tampak, menyembul di pintu.

la memberi penjelasan kepada jenderal bahwa tempat itu adalah sebuah biara khusus wanita yang harus diperlakukan seperti lazimnya. Tidak boleh ada kekerasan pada para biarawati. Jenderal memberikan jaminan dan meminta makanan untuk balatentaranya pada wanita itu.

Mereka beristirahat di sebuah sisi biara itu.

Jenderal itu adalah sosok lelaki dengan usia sekitar empat puluh tahunan -seorang yang keji dan tak pernah menikah. la berhasrat mencari kesenangan dengan melampiaskannya pada salah seorang biarawti, akibat tertekan oleh kekhawatiran selama pertempuran. Nafsu jadah itu mendorongnya mengotori tempat suci itu, tempat di mana para biarawati berhubungan dan memanjatkan doa pada Tuhan tanpa lelah, tempat yang jauh dari dunia yang kacau dan balau.

Akibat nafsu itu, jenderal lupa atas janjinya pada pemimpin biara. la memanjati sebuah tiang yang menuju ke sebuah ruangan yang dihuni seorang biarawati yang sempat dilihatnya melalui jendela. Kehidupannya yang tenggelam dalam doa dan pengasingan sama sekali tidak pernah berhasil mengikis gurat-gurat kecan- tikan wajah biarawati itu. la muncul laiknya pengembara di sebuah dunia yang penuh durja ke tengah rimba yang memungkinkannya menyembah Tuhan tanpa gangguan apa pun. Jenderal itu mencabut pedangnya dan mengancam akan membantai biarawati itu jika berteriak atau berupa meminta pertolongan.

Biarawati itu hanya tersenyum dan diam, seakan-akan ia sengaja ingin memuaskan tuntutan jenderal itu.

“Duduklah dan beristirahatlah, kulihat kau sangat kelelahan,” ujarnya setelah menatap lelaki keji itu.
Merasa yakin atas mangsa di hadapannya, jenderal itu duduk di dekatnya.

“Aku kagum padamu, Prajurit, akan keberanianmu melemparkan dirimu ke tengah pertempuran yang mengincarkan maut,” lanjut biarawati itu.

Jenderal yang pengecut dan bodoh itu menyahut,

“Situasilah yang memaksa kami memasuki medan perang. Seumpama saja orang-orang luas tidak akan memanggilku pengecut, tentu aku tak mungkin sudi memimpin balatentara durja itu.”

“Apakah kau tidak tahu bahwa di tempat kudus ini kami memiliki ramuan ajaib yang akan melindungi tubuhmu dari runcing panah dan tajam pedang bila kau oleskan?” sahut biarawati itu seraya tersenyum.

"Betulkah? Di mana ramuan itu?

Tentu sekarang ini aku sangat mem- butuhkannya!"

“Tentu aku sudi memberikan se- bagiannya padamu.”

Jenderal itu sama sekali tidak meragukan ucapan biarawati itu, lantaran ia dilahirkan di antara kelom- pok orang yang masih sangat mempercayai takhayyul. Biarawati menjamah sebuah botol yang berisi cairan putih. Jenderal itu mulai sangsi menyaksikannya. Namun kemudian biarawati itu mengeluarkan sedikit cairan dari botol itu, lalu memoleskannya ke lehernya sendiri dan berucap,

“Aku akan membuktikannya padamu bila kau tak mempercayaiku. Lolos pedangmu, tebaskan ke leherku sekuat tenagamu!”

Akhirnya jenderal yang memimpin balatentara perang itu menebaskan pedangnya sekuat tenaga, kendati sebenarnya ia ragu. Ia melakukannya karena terus ditekan oleh biarawati itu.

Di akhir tebasannya, disaksikannya kepala biarwati itu menggelinding dari tubuhnya yang rebah ke tanah tanpa bergerak sedikit pun. Sontak ia menyadari bahwa semua ini hanyalah tipu muslihat biarawati itu untuk mempertahankan diri dari perbuatan nista itu.

Sang biarawati yang perawan mati… Sementara sang jenderal menyak- sikan dua benda dihadapannya: mayat sang perawan dan cairan putih itu. Ia lantas menedang pintu karena kehilangan akal, berlari keluar, seraya menenteng pedang yang masih berlumuran darah. Ia memekik-mekik pada balatentaranya: “Ayooo, tinggal- kan tempat ini…!!!”

Ia tak menghentikan laju larinya sampai kemudian beberapa tentara- nya menemukannya sedang meratap menangis seperti bocah:

“Akulah yang membunuhnya, akulah yang membunuhnya…!”


Pesona Jiwa

Pada sebuah istana yang kemilau yang diselubungi pekat malam yang menjenterah laksana arak-arakan sang maut, seorang perempuan te- ngah duduk sendiri di atas sebuah singgasana yang terbuat dari gading. Kepalanya terkulai dalam sanggahan tangannya seperti secarik daun layu di tubuh tangkainya. la merasa tak ubahnya seorang pesakitan yang tak lagi menyimpan harapan. la ingin mendobrak dinding-dinding penjara dengan tatapan tajamnya, ingin merangsak keluar dan memasuki cawan kebebasan.

Waktu pun tents berlalu seperti setan yang berkelindan dalam jelaga malam. Sang perempuan berusaha menghibur dirinya sendiri dengan lelehan air mata bening nan hangat yang terbakar oleh rengsa yang menggigit kesunyiannya. la hanya ingin sejenak menanggalkan deritanya. Tetapi pikirannya kian berombak, meneteli anak-anak kunci yang melindungi rahasia pikirannya. Kemudian dijamahnya sebatang pena dan sehelai kertas. la pun mulai menarikan penanya dengan mata berurai sembab.

"Saudara-saudaraku terkasih. Masih adakah yang sanggup dilakukan seseorang kecuali hanya melolong dan menangis ketika seuntai jiwanya kian tidak kuasa menanggung hunjaman derita yang sebetulnya sangat ingin disimpannya rapat-rapat, namun tanggul matanya telah dibanjiri air mata dan rongga dadanya telah remuk-redam oleh gelegar duka yang mesti ditahan?

Sebagaimana seorang pencinta yang percaya bahwa mimpi-mimpi adalah muara penghiburan dan kesenangannya serta seseorang yang tertindas yang mencoba melaluinya dengan menanam harapan dalam irama belas-kasihan, seperti itu jugalah sang penderita meyakini lolongan pilu sebagai ketentraman. Kutuliskan surat ini kepadamu, lantaran akulah itu seorang penyair yang telah benar-benar menjadi saksi atas keagungan semesta dan mencoba merajutkan kembali keagungan itu dalam tembang Tuhan. Akulah itu seorang kanak-kanak yang merengek minta suapan karena deru lapar yang menyiksa. Namun lantaran sudah sedemikian laparnya, aku pun menjadi lupa akan kemiskinan, kasih-sayang bundanya dan kekerdilan hidupnya.

Saudaraku, menangislah untukku demi kau simak dongeng rengsaku ini. Tangismu akan menjelma doa dan air matamu yang penuh kasih-sayang akan menjadi sedekah yang maha suci karena terbit dari ketulusan jiwa yang sangat dalam dan bukannya dari keangkuhan yang menjijikkan.

Ayah- andaku telah mengikatkan perkawinan di leherku dengan seorang pria kaya lagi terhormat. Sebagaimana kebanyakan orang kaya, ayahku meresapi selembar hidupnya dengan memproduksi kekayaannya melalui tumpukan emas di gudang-gudangnya dan meriasi dirinya dengan keagungan para terhormat, membentengi dirinya dari kejamnya zaman. Aku beserta segenap cinta dan impianku telah ditumbalkan untuk persembahan lantai emas yang sangat memuak- kanku dan keagungan martabat yang sangat menjijikkanku.

Tapi, aku tetap menghargai suamiku karena kutahu dia seorang pria yang baik dan mulia. Dia berusaha untuk menerbangkanku ke cakrawala kebahagiaan dan menganugerahkan seluruh harta karunnya demi kepuasan jiwaku. Tetapi cinta sejati sungguh tiada ternilai dibandingkan semua pengorbanan itu. Saudaraku, janganlah engkau mentertawakanku, sebab kini akulah orang yang paling mengerti apa yang diharapkan jiwa perempuan. Getaran jiwa itu tak ada bedanya dengan sayap burung yang berkelepak dalam cakrawala cinta. Sebagaimana piala yang dikebaki anggur tua yang disuguhkan untuk jiwa yang kerontang. Serupa dengan sebuah buku yang setiap halamannya dipenuhi oleh carut-marut kebahagiaan dan penderitaan, kesentosaan dan kenestapaan, senyuman dan tangisan. Hanyalah sahabat sejati yang terdiri dari separuh perempuan yang telah diciptakan dari awal hingga akhir zaman yang sanggup membaca buku ini.

Dalam harapan dan impiannya, akulah orang yang paling memahami jiwa perempuan. Itu kugapai karena aku telah mencermati sendiri bagaimana kereta dan kuda suamiku yang mengusung semua harta kekayaannya sebenarnya tak setitik pun memiliki bandingannya dengan lirikan mata seorang pemuda kere yang menelan rengsa dalam penungguannya dan menghisap duka dalam kesedihan dan kemelaratannya. Akulah seorang manusia yang telah menjadi rumbal obsesi ayahandaku sendiri hingga aku terbelenggu dalam kubangan derita penjara kehidupan.

Saudaraku, di tengah gemuruh prahara yang melumatku, engkau tak perlu menghiburku, karena satu-satunya penghiburanku hanyalah ungkapan cintaku. Dan darl balik gelombang air mataku, aku tengah menunggu kunjungan sang maut yang akan menerbangkanku ke suatu dunia yang akan mempertemukanku dengan sejoli jiwaku, dan aku akan memeluknya sangat rapat sebagaimana dulu ketika kami belum terjerembab ke dalam dunia yang maha asing ini.

Dan engka pun tak layak menistaku, lantaran aku telah menuntaskan semua tugas dan tanggung- jawabku sebagai seorang istri yang baik yang telah dengan sangat bersusah payah mensujudi semua hukum dan tradisi para lelaki. Dalam segenap sadarku, aku telah memuliakan suamiku. Aku telah menyanjungnya dengan segenap jiwaku. Namun aku sama-sekali tak kunjung mampu menyuguhkan segenap cintaku. Ketahuilah, ini karena Tuhan sendiri telah memantapkan cintaku hanya untuk kekasihku, bahkan sebelum aku mengenalnya sekalipun.

Langit telah menggariskan bahwa aku harus menempuh hari-hariku dalam penguasaan seorang lelaki yang tidak diciptakan untukku dan aku telah menjalaninya sesuai dengan takdir Langit. Namun jikalau pintu keabadian tak kunjung terkuak, maka aku beserta sebagian keindahan jiwaku akan tetap menyatu dan menilai masa lalu sebagai masa kini. Aku akan menghargai kehidupan seperti apa yang dilakukan musim semi - dalam menghargai musim dingin. Merenungkan tantangan kehidupan ini laksana seorang pendaki yang telah menyeberangi lereng-lereng terjal dan kini telah mencapai puncak gunungnya."

Pada bagian inilah, perempuan itu menghentikan tarian penanya. Di balik telapak tangannya, ia sembunyikan setangkup wajahnya. la menangis penuh pilu. Jiwanya telah mantap untuk mewariskan rahasianya yang paling agung kepada pena. Sementara air matanya telah menguap dan menyatu dengan cepatnya bersama embun di tubuh angkasa, di mana jiwa para pencinta dan bunga bersemayam.

Beberapa selang kemudian, ia kembali meraih penanya dan melanjutkan tulisannya:

"Ingatkah engkau pada pemuda itu? Apakah engkau masih mengingat pijaran cahaya yang memantul dari kedua bola matanya, rengsa yang menjenterai wajahnya serta seutas senyumannya yang menyerupai air mata seorang ibu yang kehilangan anak kesayangannya?

Apakah engkau pun masih menyimpan nada suaranya yang laksana gemuruh dari lembah yang maha jauh? Dan apakah engkau masih pula mengingat bagaimana ia melamun, matanya yang menerawang dan blbirnya yang melafalkan kata-kata aneh, lantas dia menundukkan kepalanya sambil melenguh, seolah-olah serentak jiwanya menyimpan kecemasan akan terkuaknya rahasia-rahasia jiwa yang disembunyikannya?

Apakah engkau masih mengingat mimpi-mimpi dan keyakinan-keyakinannya? Apakah engkau masih mengingat semua hal itu yang terpancar pada diri seorang pemuda yang merupakan salah seorang putera kemanusiaan, yang telah dicemoohkan dengan kejam oleh ayahandaku, lantaran beliau merasa lebih luhur dari keagungan bumi dan lebih terhormat dari kekayaan warisan?

Saudaraku terkasih, tentu engkau mengerti bahwa sebenarnya aku adalah bom di dunia yang fana ini dan hanyalah korban dari sebuah ketololan. Adakah engkau akan menyimpan iba pada saudaramu yang tercenung seorang diri di antara kesenyapan gulita malam yang meraksasa, yang tengah menuturkan semua isi jiwanya dan menguakkan rahasia-rahasia jiwanya kepadamu?

Aku sangat percaya engkau akan mengasihaniku, sebagaimana kutahu cinta telah hinggap di ufuk batinmu." Ketika fajar berkelindan, perempuan itu telah terkapar dalam rengkuhan lelap. la berharap akan menemukan mimpi-mimpi yang jauh lebih indah dan bercahaya dari kenyataan hidup yang ditapakinya sewaktu nanti ia terjaga.***

Tangis dan Tawa

Tak akan kutukar duka lara hatiku dengan suka cita manusia. Aku tak rela bila air mata yang mengucur dari setiap kesedihan diri menjadi tawa. Biarlah hidupku berkubang air mata dan senyuman. Air mata yang menyucikan hidupku dan membuatku faham akan rahasia-rahasia hidup dan misterinya. Senyuman yang mendekatkanku pada orang-orang tercinta serta menjadi lambang pengagunganku terhadap Tuhan. Air mata yang memadukanku dengan orang- orang yang patah hati. Senyuman yang menjadi tanda kebahagiaanku akan keberadaanku.

Lebih baik aku mati membawa rindu daripada hidup menanggung jemu. Ingin kurasakan kelaparan cinta pada kecuraman jiwaku, karena aku melihat mereka yang telah puas adalah manusia paling celaka dan paling dekat pada mated. Aku mendengar dan aku menyimak desahan pencinta yang melebihi merdu rintihan apa pun.

Saat malam menjelang, bunga melihat daun-daunnya lalu tidur mendekap rindunya. Manakala pagi menyambang, ia membuka bibirnya demi menyambut kecupan sinar matahari. Kehidupan bunga-bunga adalah rindu dan pertemuan; air mata dan senyuman.

Lautan menguap, membubung, menggumpal lalu jadilah awan. Melintasi perbukitan dan lembah-lembah. Hingga manakala berjumpa semilir angin lembut, ia menangisi perladangan, bercucuran. Lalu menyatu bersama bengawan, kembali ke lautan: tanah airnya. Kehidupan awan-gemawan adalah perpisahan dan pertemuan; air mata dan senyuman.

Demikianlah jiwa terpisah dari roh yang umum, berjalan di alam materi dan berlalu seperti awan di atas pegunungan duka cita serta pedataran sukaria hingga bertemulah angin sepoi kematian lalu pulanglah ia ke tempat ia berasal, ke lautan cinta dan keindahan; menuju Tuhan.


Terhina Karena Dunia

Hei orang yang lahir di atas buaian derita, di asuh di atas pakaian kesusahan, menjadi besar dalam rumah-rumah kesewenang-wenangan, kamulah yang akan memakan rotimu yang kering karena tarikan nafas panjang dan meminum airmu yang bercampur dengan air mata dan kesedihan.

Hei tentara yang menetapkan aturan-aturan manusia yang zalim hendaknya meninggalkan teman perempuannya dan anak-anak kecil serta orang yang dicintainya dan hendaknya pergi ke medan perang dan demi menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Hei penyair yang hidup dengan cara aneh di tanah kelahirannya dan yang tertutup di antara pemuka-pemukanya dan rela hidup dengan segumpal tanah dan rela membagi roti bersama daun-daun.

Hei yang terpenjara dan terlempar dalam kegelapan karena dosa kecil yang dipaksakan oleh yartg durhaka yang membalas kejahatan dengan kejahatan dan yang telah dibenamkan oleh orang yang paling berakal yang melontarkan perbaikan di tengah-tengah kerusakan.

Dan kamu hei perempuan miskin yang telah diberi Tuhan kecantikan yang dilirik oleh pemuda cerdik lalu dia mengikutimu lalu dia melengahkanmu dan mengganti kemiskinanmu dengan emas yang karena itu kamu serahkan dirimu kepadanya lalu dia meninggalkanmu dalam keadaan ketakutan sehingga kamu menjadi gemetaran di depan cakar-cakar kehinaan dan kesengsaraan.

Hei kalian orang yang menyayangi orang yang lemah, kalian adalah pejuang-pejuang aturan hidup manusia, kalian menderita dan yang membuat kalian menderita adalah hasil kejahatan orang kuat dan dosa para hakim dalam kelaliman orang kaya serta kebejatan hamba syahwat nafsu angkara.

Janganlah kalian putus asa, karena ada orang-orang yang zalim terhadap alam, ada orang di balik sesualu, ada orang di balik mendung, ada orang di balik debu kekacauan, ada orang di balik segala sesuatu, yang kuat itu adalah Dia segala keadilan, segala kasih sayang, segala rindu dan segala cinta.

Kalian seperti bunga-bunga yang tumbuh dalam bayang-bayang. Angin sepoi akan berhembus dan membawa benih-benih kalian menuju cahaya matahari sehingga kalian hidup di sana dengan kehidupan yang indah lagi menyenangkan.

Kalian adalah orang-orang yang memandangi pohon-pohon yang gundul yang tertutupi oleh salju musim dingin. Musim semi akan datang dan dan akan menutupi kalian dengan daun-daun hijau yang lebat.

Kenyataan akan merobek-robek penutup air mata yang menghapus senyum kalian.
Aku akan menerima kalian wahai saudara-saudaraku dan aku akan mengolok-olok orang yang menganiaya kalian.