Apa yang dimaksud dengan Teori Interaksionalisme Simbolik atau Symbolic interactionism?

Teori Interaksi Simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki iindividu berdasarkan interaksi dengan individu lain.

Menurut Herbert Blumer, terdapat tiga asumsi dari teori ini:

  • Manusia bertindak berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.
  • Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
  • Makna dimodifikasi melalui interpretasi.

Sedangkan menurut La Rossan, asumsi dalam teori ini adalah:

  • Interaksi antar individu dapat mengembangkan konsep diri seseorang.
  • Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku seseoang.

Apa yang dimaksud dengan Teori Interaksionalisme Simbolik (Symbolic interactionism)?

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007).

Perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007).

Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008:), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk
perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap.

Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007), makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu
lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

  1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,

  2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (The-Self) dan dunia luarnya

  3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:

  1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
  2. Pentingnya konsep mengenai diri
  3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretatif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama.

Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

  1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.
  2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
  3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008), antara lain:

  1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
  2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku
tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan
yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.

Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:

  1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.
  2. Stuktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Dari tiga konsep tersebut, diperoleh tujuh asumsi karya Herbert Blumer (yang merupakan murid Mead ) yaitu :

  • Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.
  • Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
  • Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif
  • Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
  • Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.
  • Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.
  • Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial

Kritik Terhadap Teori Interaksi Simbolik


Kritik terhadap teori interaksi simbolik ada beberapa hal, diantaranya :

  • Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit untuk disimpulkan. Teori interaksi simbolik berasal dari berbagai sumber, teori, ilmu, metodologi dan lain sebagainya, tetapi tidak ada satupun sumber yang dapat memberikan pernyataan tunggal mengenai isi dari teori ini, kecuali dalam satu hal yaitu, ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J. B. Waston. Behaviorisme radikal berpendirian bahwa segala perilaku tiap individu di tengah interaksi masyarakat adalah sesuatu yang dapat diamati.

  • Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik (pemaparan melalui proses pertanyaan-pertanyaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis), sehingga memunculkan sedikit hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim.

  • Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian, sehingga dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari observasi, dimana pada akhirnya akan menyulitkan si-peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi.

  • Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang diteliti.

  • Interaksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, dimana organisasi sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu. Struktur sosial umumnya menyangkut dengan masalah kekuasaan, dimana beberapa kelompok memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lain dalam mendefinisikan suatu situasi yang ada, tetapi sekali lagi, para interaksionis tidak mau mengakui adanya ketidaksamaan kekuasan tersebut.

  • Interaksi simbolik bukanlah suatu teori yang utuh karena memiliki banyak versi, dimana konsep-konsep yang ada, tidak digunakan secara konsisten. Dan pada akhirnya berdampak pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain sebagainya menjadi bias dan kabur (tidak jelas).

  • Interaksi simbolik menanggapi sebuah inkonsistensi yang melibatkan masalah determinisme, dimana individu tidak memiliki banyak pilihan kecuali memandang dunia dengan cara yang sudah ditentukan, padahal dalam realitas sebenarnya, manusia bebas untuk memilih setiap pilihannya secara aktif, dan independen, serta pada akhirnya individu akan menseleksi setiap pilihan yang terbaik untuk dirinya, tanpa dibatasi oleh aturan yang mengikat.

  • Interaksi Simbolik yang disampaikan oleh George Herbert Mead adalah masuk dalam kategori Asumsi, dan bukan sebuah Teori.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Karena ide ini dapat diinterpretasikan secara luas, akan dijelaskan secara detail tema-tema teori ini dan dalam prosesnya, dijelaskan pula kerangka asumsi teori ini.

Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (1993) telah mempelajari Teori Interaksi Simbolik yang berhubungan dengan kajian mengenai keluarga. Mereka mengatakan bahwa tujuh asumsi mendasari Symbolic Interaction Theory dan bahwa asumsi-asumsi ini memperlihatkan tiga tema besar:

  • Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
  • Pentingnya mengenai konsep diri.
  • Hubungan antara individu dan masyarakat.

Pentingnya makna bagi perilaku manusia


Teori Interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan, tujuan dari interaksi menurut Symbolic Interaction Theory, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama komunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin. Coba anda bayangkan berbicara dengan seorang teman jika anda harus menjelaskan semua makna idiosinkratik yang anda miliki untuk setiap kata yang anda gunakan, teman anda harus melakukan hal yang serupa. Tentu saja, sering kali kita memberikan asumsi bahwa kita dan pasangan bicara kita sepakat akan sebuah makna dan kemudian menyadari bahwa kita keliru (sudah saya katakan untuk bersiap-siap secapat yang kamu bisa). Satu jam adalah waktu tercepat bagi saya bersiap-siap. Tetapi yang saya maksudkan adalah kamu harus siap dalam waktu 15 menit. Kamu tidak mengatakan hal itu, tetapi seringkali kita dapat menganggap orang mempunyai makna yang sama dalam pembicaraan. Menurut LaRossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga asumsi Symbolic Interaction Theory yang diambil dari karya Herbert Blumer (1969).

Asumsi-asumsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.

Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsangan tersebut.

Teoretikus Symbolic Interaction Theory seperti Herbert Blumer tertarik dengan makna yang ada di balik perilaku. Mereka mencari makna dengan memperlajari penjelasan psikologis dan sosiologis mengenai
perilaku.

Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula.

Contohnya, di Amerika Serikat kita umumnya menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen. Cincin adalah simbol ikatan resmi dan emosional, dan karenanya kebanyakan orang menghubungkan dengan konotasi positif. Walaupun demikian, beberapa orang melihat pernikahan sebagai sebuah institusi yang opesif. Orang-orang tersebut akan memberikan reaksi yang negatif terhadap cincin kawin dan segala simbol lainnya yang mereka anggap sebagai situasi merendahkan. Maksud dari teoretikus Symbolic Interaction Theory adalah bahwa cincin itu sendiri tidak mempunyai makna yang spesifik; cincin ini memiliki makna ketika orang berinteraksi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting.

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar-manusia.

Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain.

Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi.

Menurut Symbolic Interaction Theory, bayi tidak mempunyai perasaan mengenai dirinya sendiri sebagai individu. Selama tahun pertama kehidupannya, anak-anak mulai untuk membedakan dirinya dari alam sekitarnya. Ini merupakan perkembangan paling awal dari konsep diri. Symbolic Interaction Theory menyatakan bahwa proses ini terus berlanjut melalui proses anak mempelajari bahasa dan kemampuan untuk memberikan respons kepada orang lain serta menginternalisasi umpan balik yang dia terima.

Peneliti peneliti awal mengenai keluarga seperti Edgar Burgess (1926) merefleksikan asumsi ini ketika mereka mendiskusikan mengenai pentingnya keluarga sebagai sebuah institusi untuk bersosialisasi. Selanjutnya Burgess menyatakan bahwa anak dan orang tua mungkin berselisih paham mengenai konsep diri atau citra anak-anaknya. Alicia Cast (2003) mempelajari penggunaan kekuasaan pada pasangan yang sudah menikah, dan hasil yang ia dapatkan mendukung asumsi Symbolic Interaction Theory ini.

Ia menyatakan bahwa konteks sosial dan interaksi adalah suatu yang penting ketika menyelidiki tentang diri.

3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku, pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada Symbolic Interaction Theory.

Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Penting juga diingat bahwa Mead melihat diri sebagai sebuah proses, bukan struktur. Memiliki diri memaksa orang untuk mengkontruksi tindakan dan responnya, daripada sekadar mengekspresikannya.

Jadi, misalnya, jika anda merasa yakin akan kemampuan anda dalam pelajaran teori komunikasi, maka akan sangat mungkin bahwa anda akan berhasil dengan baik dalam pelajaran itu. Bahkan, akan sangat mungkin pula bahwa anda akan merasa percaya diri dalam semua mata kuliah lainnya. Proses ini sering kali dikatakan sebagai prediksi pemenuhan diri (self-fulfilling project) atau pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga harapannya terwujud.

Hubungan antara Individu dan Masyarakat


Tema yang berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pertanyaan ini. mereka mencoba untuk menjelaskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi ini berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut :

  • Orang dan kelompok dipengaruhi proses budaya dan sosial
  • Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

1. Orang dan kelompok dipengeruhi proses budaya dan sosial.

Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Contohnya, ketika anda bersiap untuk hari pertama di tempat kerja yang baru, anda memilih jas biru tua, kemeja oxford putih dan dasi berwarna merah dengan garis biru. Padahal pakaian kesukaan anda adalah celana jins dan kemeja famel, memilih berpakaian yang dirasakan lebih pantas secara sosial dengan konteks kerjanya. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri.

Di Amerika Serikat, orang yang melihat diri mereka sebagai orang yang asertif (tegas) adalah orang yang sering kali bangga pada atribut ini dan merefleksikannya dengan baik pada konsep diri mereka. Dapat terjadi demikian karena di Amerika Serikat adalah sebuah budaya yang individualistis yang menghargai ketegasan dan individualitas.

Pada banyak budaya Asia; kerja sama dan komunitas dihargai sangat tinggi, dan kolektivitas lebih penting daripada individual. Jadi, orang Asia melihat dirinya sebagai orang yang asertif mungkin akan merasa malu dengan konsep diri semacam itu.

Mary Roffers (2002) menyatakan bahwa tugas di kampus untuk membuat desain situs Web pribadi sangat sulit bagi seorang mahasiswa suku Hmong di kelasnya. Mahasiswa itu menjelaskan bahwa berbicara mengenai diri sendiri tidak diperbolehkan di dalam budayanya dan menempatkan informasi mengenai dirinya dalam Web terasa tidak benar.

2. Struktur Sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Symbolic Interaction Theory mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Contohnya, banyak tempat kerja di Amerika Serikat mempunyai ketentuan Jumat kasual, ketika karyawan memakai pakaian yang lebih kasual dibandingkan dengan pakaian kantor yang telah disepakati secara sosial. Dengan demikian, para partisipan dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleh hal tersebut. Dengan kata lain, teoretikus Symbolic Interaction Theory percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan (West,2009).

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar. Meaning (makna) : konstruksi realitas sosial. Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut. Languange (bahasa) : the source of meaning.

Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatak bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegoisasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah media penciptaan makna dan pengembangan wacana.

Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

Thought (pemikiran) : process of taking the role of the other. Premis ketiga Blumer adalah bahwa,”an individual’s interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.”

Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berfikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa sesorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.

Untuk bisa berfikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampiu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind. Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berfikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other).

Sebagai contoh, pada masa kecil, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak.

Setelah dipahami bahwa meaning, languange,dan thought memiliki keterikatan yang sangat erat, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses taking the role of the other.

Membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas.

Merujuk pendapat Mead, self (diri) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara Me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking glass dari reaksi orang lain.

Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah dan seterusnya. Oleh karena itu seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas.

Me adalah organized community dalam diri seseorang individu (Santoso,2010).

Pernikahan Heny dan Saiful nyaris gagal. Pemicunya sebenarnya hal spele, beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak.” Itu yang disampaikan Heny , pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya kacau tidak karuan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu.

“Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara ayah Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku tidak akan datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal ibu Saiful. Suasana tambah hening, menegangkan. Semua pandangan mata tajam menyorot muka Saiful yang tertunduk lesu.

Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny mulai gelisah. Pukul 09.30, pada hari ‘H’ pernikahan, semua tamu telah berkumpul, tapi Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan. Sesuai jadwal, semestinya akad nikah dilangsungkan pukul 09.00. Tepat pukul 10.00, sebuah mobil berhenti, Saiful keluar dengan langkah gontai. Tak ada anggota kelurarga yang menyertainya. “Maaf, bapak dan ibu nggak bisa datang” ungkap Saiful singkat. Raut malu dan sedih tidak bisa ditutupinya.

Untunglah petugas KUA bertindak sigap. “Pernikahannya bisa dimulai sekarang?” Tanya Pak Ahmad Mashudi, memecah ketegangan. “Silakan Pak,” itu saja jawaban ayah Heny lirih. Akad nikah pun berjalan lancar, begitu pula resepsi pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi, setiap tamu yang hadir menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang pun keluarga Saiful kelihatan dalam acara sepenting itu.

Keluarga Heny dan Saiful memiliki latarbelakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah tipikal keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis, efesien, dan mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tidak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan kehadiran anak-anak kampung, yang tidak hanya membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Saiful, yang tinggal di perkampungan. Ayah Saiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung. Mereka memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan hingga perguruan tinggi. Saiful adalah anak ketiga, lulusan fakultas Teknik PTN terkemuka. Saiful kini berkerja sebagai konsultan arstektur sebuah lembaga konsultan teknik asal Singapura. Sebagaimana orang desa umumnya, keluarga besar Saiful terbiasa hidup komunal. Mereka sangat mencintai keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah tipikal penganut “mangan ora mangan asal kumpul”. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan adalah segalanya.

Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori interaksionisme simbolik.

Latarbelakang Teori

Teori interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik dikembangkan oleh George Herbert Mead. Namun terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory) yang dikemukakan oleh filosof dan sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864 – 1920).

Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bertindakan jauh, berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilan.

Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran di antaranya mashab Chicago, Mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi serta banyak diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, William James Charles Pierce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan.

  • Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia.

  • Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.

  • Ketiga, manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka termasuk tujuan mereka.

  • Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan.

Sebagai pencetus teori interaksionisme simbolik, George H. Mead, pada awalnya Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self and Society.

Herbert Blumer, teman sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa

the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.

Esensi Teori

Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori Interaksi Simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.

Ide-ide teori ini nantinya sangat berpengaruh dalam kajian bidang ilmu komunikasi. Banyak peneliti menggunakan teori ini, seperti Gail McGregor (1995) menggunakan teori ini untuk mengkritik penggambaran gender dalam iklan. Patricia Book (1996) mempelajari pengaruh naratif dalam keluarga terhadap kemampuan seseorang untuk berkomunikasi mengenai kematian.

Linda Trevino, dkk., mempelajari mengenai pilihan manajer untuk berkomunikasi tatap muka, komunikasi tertulis, dan komunikasi secara elektronik di tempat kerja dengan menggunakan kerangka teori ini. Judy Peterson dan Shannon Van Horn (2004) menemukan bahwa teori interaksi simbolik membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua mengenai identitas gender. Namun beberapa peneliti mengamati bahwa teori interaksi simbolik adalah sebuah komunitas teori (payung), bukan suatu teori yang sederhana.

Ralph LaRosa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2009) mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik. Tujuh asumsi tersebut memperlihatkan tiga tema besar, yakni:

  1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia;
    Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan tujuan dari interaksi adalah untuk menciptakan makna yang sama.

    Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki tiga asumsi interaksi simbolik bahwa:

    1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka;
    2. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia;
    3. Makna dimodifikasikan dalam proses interpretif.

    Kisah Henny dan Saiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda akhirnya melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang berbeda, sehingga berbeda pula dalam pemaknaan. Setting pedesaan yang komunal melahirkan pemaknaan bahwa kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan perkotaan yang metropolis dan individualis mendorong pemaknaan bahwa hidup harus efektif, praktis dan bercita rasa.

  2. Pentingnya konsep mengenai diri;
    Tema kedua yang menjadi asumsi utama dari interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri (self concept). Konsep ini merujuk pada seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan. Pertama, individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

  3. Hubungan antar individu dan masyarakat.
    Tema yang terakhir teori ini berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pernyataan ini. Mereka mencoba untuk menjelaskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: 1) orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial; dan 2) struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.

  1. Meaning (makna): Konstruksi Realitas Sosial.
    Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut.

  2. Language (Bahasa): Sumber Makna.
    Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.

    Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan suatu objek, sifat atau tindakan dengan objek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbiter. Percakapan adalah sebuah media pencitaan makna dan pengembangan wacana.

    Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.

  3. Thought (Pemikiran): Proses pengambilan peran orang lain.
    Premis ketiga Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding.

    Secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.

Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other).

Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindak tanduk keseharian.

Setelah memahami konsep Meaning, language dan thought, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa megetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses pengambilan peran (taking the role of the other).

Proses ini berusaha membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.

Tanpa pembicaraan tidak aka nada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas atau kelompok masyarakat. Merujuk pada pendapat Mead, diri (self) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking glass self dari reaksi orang lain.

Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik secara terus menerus –melalui dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized others, yaitu berbagai hal (orang, objek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.

Konsep Penting


Ada tiga konsep penting yang dibahas dalam teori interaksi simbolik. Hal ini sesuai dengan hasil pemikiran George H. Mead, yang dibukukan dengan judul Mind, Self and Society.

  • Konsep pertama adalah pikiran (mind). Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain.

    Bayi tidak akan berinteraksi dengan orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran. Jadi pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Akan tetapi pikiran tidak dapat hanya tergantung pada masyarakat.

    Terkait dengan konsep pikiran, ada pemikiran (thought), yang merujuk pada percakapan di dalam diri sendiri. Mead berpandangan bahwa tanpa rangsangan sosial dan interaksi dengan orang lain, orang tidak akan mampu mengadakan pembicaraan dalam dirinya sendiri atau mempertahankan pemikirannya.

    Salah satu aktivitas penting yang digunakan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha untuk membayangkan bagaimana orang lain mungkin melihat kita, kita sebagai mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri kita. Pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.

  • Konsep penting yang kedua adalah diri (self). Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana. Namun diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran khusus—maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah ini sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.

    Mead mengamati bahwa bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.

  • Konsep penting yang ketiga adalah masyarakat (society). Mead berargumen bahwa interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis—budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu.

Kerangka pemikiran symbolic interation berasal dari disiplin sosiologi. Terdapat tujuh proposisi umum yang mendasari pemikiran symbolic interactionism

  • Bahwa tingkah laku dan interaksi antar manusia dilakukan melalui peraturan lambang – lambang yang mengandung arti
  • Orang menjadi manusiawi setelah berinteraksi dengan orang-orang lainnya
  • Bahwa masyarakat merupakan himpunan dari orang-orang yang berinteraksi
  • Bahwa manusia secara sukarela aktif membentuk tingkah lakunya sendiri
  • Bahwa kesadaran atau proses berpikir seseorang melibatkan proses interaksi dalam dirinya
  • Bahwa manusia membangun tingkah lakunya dalam melakukan tindakan-tindakan
  • Bahwa untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan penelaahan tentang tingkah laku / perbuatan yang tersembunyi

Teori Interaksionalisme Simbolik merupakan perspektif teoritis Amerika yang dikembangkan oleh para ilmuan pskologi sosial di universitas Chicago

Teori Interaksionalisme Simbolik berpendapat bahwa komunikasi manusia terjadi melalui pertukaran lambang-lambang beserta maknanya perilaku manusia dapat dimengerti dengan mempelajari bagaimana para individu memberi makna pada informasi simbolik yang mereka pertukarkan dengan pihak lain.

George Herbert Mead, yang dikenal sebagai pencetus awal Teori Interaksionisme simbolik, sangat mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. Interaksionisme simbolik membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.

Sebagaimana diamati oleh Kenneth J. Smith dan Linda Liska Belgrave (1984), Interaksionisme simbolik beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi “nyata” oleh interaksi individu- individu, yang “hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna”. Selanjutnya, pada argumentasi ini dapat dilihat meyakinan Mead bahwa individu merupakan partisipan yang aktif dan reflektif terhadap konteks sosialnya.

George Herbert Mead lebih menekankan pada bahasa atau simbol signifiksi.

Simbol signifikasi adalah suatu makna yang dimengerti bersama. Hal itu dikembangkan melalui interaksi yang pada dirinya merupakan persoalan manusia yang berusaha untuk mencapai hasil-hasil praktis dalam kerja samanya satau sama lain.

Interaksionisme simbolik selalu didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Asumsi- asumsi dalam teori ini ialah sebagai berikut:

  • Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.

    Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Contohnya, ketika seseorang berada pada lingkungan baru dengan budaya yang berbeda, dia akan memberikan makna dengan menerapkan interpretasi yang diterima secara umum pada hal-hal yang dilihatnya.

    Makna yang diberikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Contohnya, Budaya masaa yang menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen.

  • Makna diciptakan dari interaksi antarmanusia.

    Makna dapat ada, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Interaksionisme simbolik melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang.

    Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi”.

    Ketika dua individu yang berbeda budaya sedang berinteraksi, sangat penting bagi kedua individu tersebut untuk berbagi bahasa yang sama dan sepakat pada denotasi dan konotasi dari simbol- simbol yang mereka pertukarkan, guna mendapatkan makna yang sama dari pembicaraan tersebut.

  • Makna dimodifikasi melalui proses interpretatif. Terdapat dua langkah dalam proses interpretatif.

    • Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna.
    • Kedua, melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada.

    Setiap orang berhak untuk memberikan makna akan sesuatu akan tetapi, ketika berada pada lingkungan baru yang berbeda budayanya, maka seseorang dituntut untuk memberikan makna sosial yang sama dan relevan sekaligus dapat diterima secara budaya.

  • Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

    Dalam membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang- orang tidak lahir dengan konsep diri, mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka konsep mengenai dirinya akan terbentuk.

  • Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku.

    Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini juga digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Ketika seseorang mendapat pujian mengenai kemampuannya, maka orang tersebut akan melakukan pemenuhan diri terkait kemampuannya.

  • Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.

    Asumsi yang mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang dianggap penting dalam konsep diri.

    Di Amerika misalnya, terdapat suatu budaya yang individualis yang menghargai ketegasan dan individualitas, sehingga orang sering kali bangga jika melihat dirinya sebagai orang yang tegas.

  • Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

    Interaksionisme simbolik percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Sehingga asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Padahal sebenarnya manusia sebagai pembuat pilihan tidaklah dibatasi oleh budaya atau situasi.

Teori interaksionalisme simbolik sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi. Lebih dari itu, teori interaksionalisme simbolik juga memberikan inspirasi bagi kecenderungan semakin menguatnya pendekatan kualitatif dalam studi komunikasi.

Pengaruh itu terutama dalam hal cara pandang holistik terhadap gejala komunikasi sebagai konsekuensi dari prinsip berpikir sistemik yang menjadi prinsip dan teori interaksionalisme simbolik.

Prinsip ini menempatkan komunikasi sebagai suatu proses menuju kondisi-kondisi interaksional yang bersifat konvergensif untuk mencapai pengertian bersama diantara para partisipan komunikasi. informasi dan pengertian bersama menjadi konsep kunci dalam pandangan konvergensif terhadap komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1980).

Informasi daam hubungan ini pada dasarnya berupa simbol atau lambang-lambang yang saling dipertukarkan oleh atau diantara partisipan komunikasi.

Teori interaksionalisme simbolik memandang bahwa makna- makna diciptakan dan dilanggengkan melalui interaksi dalam kelompok-kelompok sosial. Interaksi sosial memberikan, melanggengkan, dan mengubah aneka konvensi, seperti peran, norma, aturan, dan makna-makna yang ada dalam suatu kelompok sosial. Konvensi-konvensi yang ada pada giliranyya mendefinisikan realitas kebudayaan dari masyarakat itu sendiri.

Bahasa dalam hubungan ini dipandang sebagai pengangkat realita (informasi) yang karenannya menduduki posisi sangat penting. Interaksionalisme simbolik meruakan gerakan cara pandang terhadap komunikasi dan masyarakat yang pada intinya berpendirian bahwa struktur sosial dan makna-makna dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi sosial.

Barbara Ballis Lal mengidentifikasi cara pandang interaksionalisme simbolik sebagai berikut :

  • Orang mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif tentang situasi yang dihadapi.

  • Kehidupan sosial lebih merupakan proses-proses interaksi daripada struktur-struktur yang karenannya senantiasa berubah.

  • Orang memahami pengalamannya melalui makna-makna yang ia ketahui dari kelompok-kelompok primer, dan bahasa merupakan suatu hal yang esensial dalam kehidupan sosial.

  • Dunia ini terbangun atas objek-objek sosial yang disebut dengan sebutan tertentu dan menentukan makna-makna sosial.

  • Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran-penafsiran dimana objek-objek yang relevan serta tindakan-tindakan tertentu diperhitungkan dan didefinisikan.

  • Kesadaran tentang diri sendiri seseorang merupakan suatu objek yang signifikan, dan seperti objek sosial lainnya, ia didefinisikan melalui iteraksi sosial dengan orang lain.

Interkasionaisme simbolik, dengan melihat kecenderungan- kecenderungan di atas, dapat dikatakan berupaya membahas totalitas perilaku manusia dari sudut pandang sosio-psikologis. Artinya, perilaku manusia dipahami melalui proses interaksi yang terjadi. Struktur sosial dan makna-makna dicipta dan dipelihara melalui ineraksi sosial.

Dari perspektif ini, komunikasi didefinisikan sebagai perilaku simbolik yang menghasilkan saling berbagi makna dan nilai-nilai diantara partisipan dalam tingkat yang beragam.

Referensi
  • Mulyana Dedy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Pt Remaja Rosda Karya, 2010).
  • Muhamad Budyatna, Teori Komunikasi Antar Pribadi (Jakarata: Kencana, 2011).
  • Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
    (Jakarta: Salemba Humanika, 2009).
  • Craib Ian, Teori-Teori Sosial Modern, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), hlm. 113.
  • Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi
    (Jakarta: Salemba Humanika, 2009).
  • Ph.D Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta : Pt Lkis Pelangi Aksara, 2007).

Interaksi simbolik fokus pada penafsiran terhadap pemaknaan subyektif yang muncul dari hasil interaksi dengan orang lain atau lingkungannya. Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, yaitu masyarakat.

Premis-premis yang diajukan oleh Herbert Blumer adalah sebagai berikut :

  1. Human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.

    Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.

  2. Meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik.

    Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society). Makna dari kata tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.

  3. An individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.

    Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik.

Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para interaksionis simbolik.

Peneliti berusaha ’memasuki’ proses pemaknaan dan pendefinisian subyek melalui metode observasi partisipan. Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.

Sumber : Ponco Budi Sulistyo, Metode Penelitian Kualitatif.