Apa yang dimaksud dengan Semiotika dalam Ilmu Komunikasi?

Semiotika adalah kajian mengenai produksi sosial dan komunikasi terhadap sistem tanda ( sign system ) yang menganalisa berbagai hal yang dapat berdiri atas hal lain, dengan kata lain hal yang memiliki makna dibaliknya. Sedangkan ahli semiotika dari Italia, Umberto Eco, menyatakan bahwa semiotika adalah “ the discipline studying everything which can be used in order to lie, because if something cannot be used to tell a lie, conversely it cannot be used to tell the truth; it cannot, in fact, be used to tell at all.”

Ilmu semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Van Zoest (1993)

Semiotika berasal dari kata Yunani : semeion, yang berarti tanda.

Makna Tanda

Tanda (sign) adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya untuk berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004). Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar ilmu yang digunakan dalam dunia semiotika. Ia mendefinisikan mengenai tanda yang tersusun atas tiga dimensi:

  1. bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”);
  2. referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu);
  3. pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial.

Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010).

Tanda terdapat di mana-mana, tidak hanya kata, gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di luarnya.

Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda dilakukan secara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita.

Konvensi sosial adalah pertemuan sekelompok orang yang secara bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling mendengar dan didengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut.

Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda, namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu. Misalnya gerakan memencet hidung, di dalam masyarakat Indonesia, gerakan tersebut tidak memiliki makna dan tidak sebagai menyampai pesan. Namun, masyakarat Philipina memberikan makna di dalam gerakan tersebut untuk mengatakan tidak mengerti mengenai sesuatu. Oleh karena itu, ketika mereka hendak menyampaikan ketidak mengertian mereka, mereka biasanya memencet hidung mereka.

Semiotika Strukturalis

Menurut Ferdinand De Saussure, dalam bukunya berjudul Course in General Linguistics (1916) yang telah diterbitkan ulang pada tahun 1983 dalam Semiotics The Basics oleh Daniel Chandler (2007) dijelaskan bahwa :

A linguistic sign is not a link between a thing and a name, but between a concept [signified] and a sound pattern [signifier]. The sound pattern is not actually a sound; for a sound is something physical. A sound pattern is the hearer’s psychological impression of a sound, as given to him by the evidence of his senses. This sound pattern may be called a ‘material’ element only in that it is the representation of our sensory impressions. The sound pattern may thus be distinguished from the other element associated with it in a linguistic sign. This other element is generally of a more abstract kind: the concept. (Saussure 1983)

A sign must have both a signifier and a signified. You cannot have a totally meaningless signifier or a completely formless signified (Saussure 1983). The signifier is now commonly interpreted as the material (or physical) form of the sign - it is something which can be seen, heard, touched, smelt or tasted. (Saussure dalam Daniel Chandler)

Gambar contoh signifier dan signified

Dari teori Ferdinand De Saussure, dapat kita pahami bahwa tanda terdiri dari penanda dan petanda. Relasi keduanya merupakan bagian yang memiliki keterkaitan erat dalam pemaknaan. Penanda (signifier) umumnya diartikan sebagai bahan (fisik) berupa tanda, serta itu adalah sesuatu yang dapat dilihat, didengar, disentuh, mencium atau mencicipi. Sedangkan petanda (signified) adalah gambaran pemikiran atau konsep. Oleh karena itu, petanda adalah aspek pemikiran dari bahasa.

Menurut Saussure, semiotika adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut petanda (signified).

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent” ( Dewi, 2010 ).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik (tanda, pemaknaan, denotatum dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (Cristomy dan Untung Yuwono, 2004).

Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, dapat dikatakan sebagai tanda.

Peirce membagi tanda menjadi sepuluh jenis (Sobur, 2006).:

  1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. kata keras menunjukkan kualitas tanda. misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.

  2. Inconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh: foto, diagram, peta, dan tanda baca.

  3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna, dilarang mandi di sini.

  4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.

  5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.

  6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

  7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang tengah dilarikan ke rumah sakit.

  8. Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau.

  9. Dicent Symbol atau Proposition (porposisi) adalah tanda yang langsung meghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengar hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.

  10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata begitu. Tentu saja penilaian tersebut mengandung kebenaran.

Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak bisa dipisahkan, tanda memiliki dua entitas yaitu penanda (signifier/ wahana tanda/ yang mengutarakan/ simbol) atau bentuk dan petanda (signified/ konsep/ makna/ yang diutarakan/ thought of reference).

Berkaitan dengan piramida pertandaan ini (tanda-penanda-petanda), Sausurre menekankan dalam teori semiotika perlunya konvensi sosial, diantara komunitas bahasa, tentang makna suatu tanda. Saussure menkankan bahwa satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut.

Charles Sanders Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga. Bagi Pierce, tanda ”is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Artinya, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object dan interpretand.

Pierce mengatakan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berati gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Merujuk teori Pierce, tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotika. Pierce membagi tanda menjadi tipe-tipe : ikon, indeks dan simbol.

Pierce merasa bahwa ini merupakan model yang sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda adalah sesuatu yang yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul di kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, Burung Dara sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian; Burung Dara tidak begitu saja bisa diganti dengan burung atau hewan yang lain.

  • Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (menunjukkan suatu kemiripan) , ini yang kerapkali jelas dalam tanda- tanda visual misalnya foto seseorang dapat dikatakan ikon; sebuah peta adalah ikon; gambar yang ditempel di pintu kamar kecil pria dan wanita adalah ikon. Pada dasarnya ikon merupakan suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu meskipun sesuatu sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya.

  • Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut tanda sebagai suatu bukti. Contohnya: asap dan api, asap akan menunjukkan adanya api disekitarnya. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menoreh tanda tangan tersebut.

  • Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.

Hubungan antara ikon, indeks dan simbol bersifat konfesional. Hubungan antara simbol, thought of referenc (pikiran atau referensi) dan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :

Gambar hubungan antara simbol, pikiran atau referensi dan acuan dalam semiotika peirce (Sumber: Alex Sobur, 2003)

Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik.

Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satua pengertian tertentu.

Simbol berbeda dengan tanda, simbol mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek; hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya begitu.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik (tanda, pemaknaan, denotatum dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (Cristomy dan Untung Yuwono, 2004).

Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda.

Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa. Ini berati suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda. Petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan tanda adalah suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas”. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa yang kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa serta. Iklan merupakan salah satu dari produk seni rupa yang membutuhkan ide-ide kreatif dalam pembuatannya. Hal inilah yang akhirnya menjadi pedoman penulis untuk meneliti serta menganalisis iklan Axis versi senyum Kiara menggunakan ilmu semiotika.

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti ”tanda” atau sign dalam bahasa Inggris ini adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain: kata (bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, film, sign, serta karya sastra yang mencangkup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu sendiri. Tanpa adanya sistem tanda seorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan satu sama lain. Dari penjelasan tersebut dapat diuraikan bahwa setiap potongan gambar, sepenggengal jingle Axis akan mempunyai makna tersendiri. Melalui pendekatan semiotika peneliti akan berusaha menggali nilai-nilai dan makna dari setiap tanda yang ada dalam iklan Axis.

Kita dapat meneliti dan mengungkapkan makna dan bahasa visual dari iklan serta mengetahui alasan dibalik penggunaan sosok Kiara sang gadis kecil dalam iklan Axis yang diteliti. Didalamnya juga akan dijelaskan mengapa menggunakan setting (tempat) di Denpasar Bali, mengapa setting tempat tersebut digambarkan seperti suatu pedesaan, mengapa menggunakan jingle yang riang, mengapa dalam iklan tersebut menekankan warna-warna cerah serta mengapa dalam iklan tersebut menekankan unsur kebudayaan. Semua hal tersebut mempunyai makna dan nilai yang dapat digali oleh peneliti nantinya. Seluruh aspek yang diteliti akan cukup luas, hal yang menarik inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti iklan Axis versi Senyum Kiara menggunakan pendekatan semiotika.

Manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika. Penjelajahan semiotika sebagai sebuah metode kajian ke dalam berbagai macam keilmuan dalam hal ini desain komunikasi visual.

Kecenderungan ini dalam hal memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa, artinya bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka semuanya akan termasuk kedalam karya-karya desain komunikasi visual, komunikasi visual ini akhirnya akan dipandang sebagi sebuah tanda-tanda. Hal tersebut dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.

Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut.

Merujuk teori Pierce, tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotika. Pierce membagi tanda menjadi tipe-tipe : ikon, indeks dan simbol.

  1. Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (menunjukkan suatu kemiripan) , ini yang kerapkali jelas dalam tandatanda visual misalnya foto seseorang dapat dikatakan ikon; sebuah peta adalah ikon; gambar yang ditempel di pintu kamar kecil pria dan wanita adalah ikon. Pada dasarnya ikon merupakan suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu meskipun sesuatu sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya.

  2. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut tanda sebagai suatu bukti. Contohnya: asap dan api, asap akan menunjukkan adanya api disekitarnya. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menoreh tanda tangan tersebut.

  3. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda, seperti orang eskimo, Garuda Pancasila akan dianggap sebagai burung yang biasa saja yang disamakan dengan burung-burung sejenis elang lainnnya.

Pateda (2001) mengungkapkan sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yaitu :

  1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan penganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikaitkan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

  2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

  3. Semiotik faunal (Zoo Semiotik), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek – kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti. Tanda – tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

  4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalma kebudayaan tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyakarat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda – tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

  5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi.

  6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon – pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

  7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma – norma, misalnya rambu – rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

  8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

  9. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Referensi

Teori Semiotika

Pengertian Semiotika Secara Umum

Semiotika merupakan suatu kajian ilmu tentang mengkaji tanda. Dalam kajian semiotika menganggap bahwa fenomena sosial pada masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistemsistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkikan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Kajian semiotika berada pada dua paradigma yakni paradigma konstruktif dan paradigma kritis.

Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani simeon yang berarti “tanda”. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (dalam Sobur, 2001, hlm. 96) mengartika semiotik sebagai “ ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Pateda (2001, hlm. 29) mengungkapkan sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yaitu :

a) Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan penganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikaitkan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

b) Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

c) Semiotik faunal (Zoo Semiotik), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek – kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti. Tanda – tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

d) Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalma kebudayaan tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyakarat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda – tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

e) Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi.

f) Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon – pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

g) Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma – norma, misalnya rambu – rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

h) Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

i) Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Secara singkat Sobur (2003, hlm. 15) mengungkapkan semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda disini yaitu perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barhtes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagai mana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Sedangkan menurut Lechte (dalam Sobur, 2003, hlm. 16) Semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan.

Berger (dalam Sobur, 2003, hlm. 18) mengungkapkan, “Semiotika menaruh perhatian pada apa pun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secaranyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran”.

Referensi

http://repository.upi.edu/26982/5/S_IKOM_1200310_Chapter2.pdf